Pulang! Buat lapangan
kerja yang banyak di daerah-daerah kalian. Sehingga orang-orang desa tidak
harus pergi keluar daerahnya hanya untuk cari kerja. Kemiskinan, pengangguran,
kemacetan, inflasi, solved! Local economic solves so many problems.”
(Stephanie Hermawan, mentoring
Heart of Spora x UnLtd, dikutip dari postingan facebook Tiara Desyha Rianti,
19/10/2016.)
Seorang pengunjung pameran Palapa Network sedang mengamati glontor mini pot rancangan Tiara – dok. Alyssa |
Tiara
Desyha Rianti, gadis berhijab lulusan Sarjana Teknik dari Universitas Indonesia
ini begitu menarik perhatian saya, bukan hanya karena parasnya yang cantik,
melainkan juga prestasi dan dedikasinya dalam mengembangkan usaha di bidang
industri kreatif berbasis local genius masyarakat Kebumen.
Berbeda
dari kebanyakan orang, pendidikan dan passion yang tinggi tidak membuat langkah
Tiara menjauh dari kota kelahirannya, Kebumen, yang juga merupakan kota
kelahiran saya. Sebaliknya, ilmu yang didapat dan kecakapannya di bidang desain
membujuknya kembali ke kampung halaman dan membangun industri kreatif di sana.
Melalui social enterprise yang dinamai Heart of Spora, Tiara dan sekelompok pemuda
Kebumen mengembangkan aneka kerajinan berbahan dasar pandan di desa Grenggeng,
Karanganyar.
Berikut
ini aktivitas ibu-ibu perajin binaan Tiara dan teman-teman Kebumen:
Dedikasi
Tiara mengingatkan saya dengan sepenggal kalimat dari mantan Presiden Afrika
Selatan, Nelson Mandela. Katanya, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk
mengubah dunia.”
Foto diambil dari laman Facebook Heart of Spora dengan pengeditan. |
Hanya
saja, perubahan seperti apa dan dunia belahan mana?
Tiara
mengambil belahan dunia yang paling dekat dengannya, yaitu Kebumen. Ia memulai
perubahan-perubahan positif dengan menggarap local genius masyarakat di desa
Grenggeng.
Sejak
dulu, masyarakat desa Grenggeng memanfaatkan daun-daun pandan untuk dianyam
menjadi complong (bentuknya mirip sarung). Complong ini kemudian dibeli
tengkulak dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran. Melalui Heart of
Spora, Tiara dan kawan-kawan melakukan pembinaan kepada ibu-ibu pengrajin untuk
mengkreasikan complong menjadi produk-produk kerajinan seperti tas dan dompet sehingga
mampu bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Kesuksesan
Tiara dalam menangkap dan mengembangkan local genius masyarakat Desa Grenggeng
menjadi contoh ideal bagi pembangunan pendidikan yang mengarahkan peserta didik
agar berkontribusi aktif bagi pengembangan ekonomi kemasyarakatan. Sayang, banyak
kalangan terdidik justru terjebak pada pusaran kesuksesannya sendiri sehingga ‘lupa’
untuk memajukan tanah kelahirannya. Tidak sedikit pula yang gagal meraih
kesuksesan sehingga menjadi bagian dari permasalahan kemiskinan, pengangguran,
kriminalitas dan kemacetan di kota-kota besar. Atau merelakan diri menjadi
buruh rendahan dengan gaji yang hanya cukup untuk makan satu bulan, sambil
menahan rindu akan kampung halaman demi meringankan beban keluarga dan harapan
akan masa depan yang jauh lebih baik.
Potensi Bangsa yang Tergadaikan
infoindonesiakita.com |
Sebelum dilengserkan, Sukarno pernah berkata, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.”
Mengapa
Sukarno menolak keterlibatan asing dalam mengelola sumber daya alam Indonesia?
Padahal saat itu Indonesia baru merdeka dan membutuhkan investasi demi
mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional?
Sebagai
aktor utama yang berjuang melepaskan Indonesia dari jerat penjajah, Sukarno
tentu mendambakan Indonesia yang berdaulat secara ekonomi tanpa harus
bergantung pada negeri lain. Meski demikian, Sukarno tidak ingin terburu-buru menggencarkan
pembangunan ekonomi lantaran melihat kondisi intelektual masyarakat kala itu yang
masih rendah. Sukarno optimis, seiring gencarnya pembangunan pendidikan yang
ada, Indonesia akan melahirkan insinyur-insinyur handal yang mampu menggali dan
mengelola sumber daya alam demi menyejahterakan rakyat Indonesia.
Namun
apa yang terjadi selanjutnya? Pembangunan pendidikan yang diharapkan mampu
menjadikan bangsa ini mandiri secara ekonomi pada kenyataannya belum mampu memberikan
timbal hasil yang semestinya. Banyak potensi bangsa yang tergadaikan oleh pihak
asing, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
Masih
ingat dengan kasus Freeport? Gunung emas, perak dan tembaga yang dirampok
Amerika tersebut adalah skandal terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia.
Tergadaikannya potensi alam yang konon dapat melunasi semua utang-utang
Indonesia dan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia tersebut adalah kesalahan terbesar
pemerintah yang semestinya tidak perlu dan jangan sampai terulang kembali. Namun
seperti menolak untuk belajar dari kesalahan, kejadian serupa massif terjadi
hingga sekarang. Sehingga negeri yang katanya kaya raya ini tidak kunjung
menjadi negara maju seperti yang diidam-idamkan.
Freeport dari pencitraan satelit. Foto diambil dari info-lingkungan.blogspot.co.id |
Matinya
Sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otonoma, tumpukan batuan limbah tambang dan
tailing yang jika ditotal mencapai 840.000 ton serta matinya ekosistem di
sekitar lokasi pertambangan milik PT Freeport Indonesia adalah bukti bahwa
pengelolaan sumber daya alam di Papua belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi
masyarakat di sekitarnya, bahkan sebaliknya menyengsarakan mereka. Pepatah yang
mengatakan “ayam mati di lumbung padi” tampaknya paling pas menggambarkan
kondisi masyarakat Papua paska disahkannya penambangan emas PT Freeport
Indonesia.
Kegagalan
Freeport dalam pengelolaan sumber daya alam Papua mengajarkan kita bahwa pembangunan
ekonomi yang hanya berorientasi pada keuntungan semata justru menimbulkan dampak
negatif bagi keberlangsungan ekosistem dan perekonomian masyarakat sekitar.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Freeport memberikan keuntungan ekonomi berupa
penerimaan royalti, akan tetapi jumlah yang diterima sama sekali tidak
sebanding dengan kerugikan akibat pencemaran lingkungan dan perusakan sumber
daya alam yang tak tergantikan. Belum lagi kegagalan Freeport dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga provinsi yang memiliki kekayaan alam
berlimpah itu harus berpuas diri menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Sumber data: silmiikaffah |
Sikap
terburu-buru pemerintah juga menjadi penyebab lain kegagalan negara dalam
pengelolaan sumber daya alam Papua. Pemerintah terlalu ambisius untuk melakukan
pembangunan ekonomi, namun mengabaikan aspek pembangunan sumber daya manusianya.
Kearifan lokal masyarakat Papua juga terabaikan sehingga memicu konflik kepentingan
antara pemerintah dan perusahaan dengan masyarakat adat setempat. Sebuah fakta yang
memantik pertanyaan dalam benak penulis. Jika pengelolaan sumber daya alam
tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, lantas kemana arah
pembangunan ekonomi Indonesia?
Arah Pembangunan Pendidikan dan
Keterasingan Budaya
“Di Kebumen hanya numpang lahir dan
sekolah, setelah itu pergi dari Kebumen. Ini fakta. Rasa nasionalisme ke
Kebumennya tu gak ada, egois banget, hanya mementingkan urusan pribadi. Percuma
kaya tapi di luar Kebumen, percuma pinter sekolah tinggi tapi gak ada timbal
baliknya untuk daerahnya sendiri.”
Postingan
akun facebook Kota Kebumen tersebut sangat menggelitik dan cukup menyakitkan bagi
sebagian kalangan, khususnya putra-putri Kebumen yang merantau di kota-kota
besar. Rasa sakit hati ini diungkapkan pemilik akun Edmon Dwie Perdhana melalui
postingan di dinding facebooknya sebagai berikut:
Terjemahannya
kurang lebih seperti ini:
“Entah di mana otak sang penulis,
gampang sekali menghakimi. Tidak tahu rasanya merantau ingin pulang tanpa
membawa beban di tanah kelahiran. Siapa yang tidak ingin pulang ke Kebumen,
menetap, tua, membangun, dan meninggal di tanah kelahiran sendiri.”
Sebagai
seseorang yang lahir, tumbuh, bersekolah dan bekerja di kota Kebumen, saya
merasakan betul betapa sulitnya mencari pekerjaan di kota kecil ini. Bermodalkan
ijazah SMK, sulit bagi saya mendapatkan pekerjaan sesuai kualifikasi yang
tertera di lembar ijazah. Ada beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan
kualifikasi saya, namun semuanya mensyaratkan pendidikan minimal strata satu.
Nyaris semua lowongan staf akuntansi mensyaratkan pendidikan S1 |
Hal
tersebut lantas membuat saya berpikir, apa gunanya saya masuk sekolah kejuruan?
Bukankah sekolah kejuruan membidik kematangan siswa dan mengarahkan lulusannya agar
dapat terjun langsung ke dunia kerja? Lantas, apa ruang lingkup pekerjaan bagi
lulusan SMK? Apakah sesuai dengan kualifikasinya atau ‘disasarkan’ menjadi
buruh pabrik? Sebab
di sekolah kejuruan tempat penulis belajar, para siswa justru disalurkan ke
pabrik-pabrik di luar kota untuk menempati posisi sebagai staf operasional,
bukan di bidang pekerjaan yang sesuai kualifikasinya.
Selain
disfungsi pembangunan pendidikan berbasis sekolah kejuruan, masalah lain timbul
kaitannya dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Di kota kecil seperti Kebumen,
jumlah pabrik yang tersedia sangat sedikit. Fakta ini lantas memicu urbanisasi
besar-besaran setiap tahunnya, dimana unsur dominannya merupakan tamatan
sekolah menengah. Mereka rela meninggalkan kota tercinta, jauh dari orang tua,
hidup di kos-kosan dengan ruangan yang sempit dan makan alakadarnya, kerja
banting tulang setiap hari dengan upah gaji minimum daerah, semata demi
meringankan beban orang tua dan harapan akan masa depan yang konon jauh lebih
baik.
Gambar diolah dari berbagai sumber di internet |
Dengan
keadaan yang sedemikian itu, masihkan sanggup menuduh mereka tidak nasionalis?
Egois?
Baiklah.
Anggap saja tuduhan itu tidak ditujukan bagi lulusan sekolah menengah,
melainkan bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi semisal strata satu.
Sebab di pundak kalangan terdidik itulah, harapan akan masa depan yang lebih
baik dilimpahkan. Banyak orang berharap, kecakapan dan kematangan ilmu yang didapatkan
selama menempuh pendidikan tinggi akan menjadi jalan bagi terwujudnya
kemandirian ekonomi melalui pembangunan lapangan pekerjaan di daerah-daerah.
Gambar diolah dari berbagai sumber di internet |
Namun
ada dua hal yang mesti dikaji ulang terkait harapan tersebut. Pertama, apakah pembangunan
pendidikan di Indonesia diarahkan agar para peserta didik mengenal dan
berkontribusi aktif bagi pengembangan potensi daerahnya? Kedua, sudahkah pembangunan
pendidikan diarahkan agar peserta didik mencintai tanah kelahirannya?
Gambar diambil dari: www.slideshare.net |
Sejauh
pengalaman penulis, pembangunan pendidikan di Indonesia masih terlalu mentah
untuk menghasilkan lulusan yang mampu mengelola potensi lokal masing-masing
daerah. Model dan sistem pendidikan yang diterapkan cenderung copy-paste konsep pendidikan barat
sehingga kurang sesuai dengan kondisi konkrit bangsa Indonesia yang memiliki
keberagaman suku budaya, bahasa serta adat istiadat. Konsep pendidikan ala
Barat inilah yang membuat kalangan terdidik kian terasingkan dari budaya lokal.
Poskota News |
Hilangnya
penerapan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari masyarakat Kebumen menjadi salah
satu sinyal keterasingan kalangan terdidik terhadap produk budaya masyarakatnya.
Mereka cenderung tidak suka atau kurang percaya diri menggunakan bahasa daerah
walau dalam percakapan sehari-hari sekalipun. Mereka juga tidak cakap
menggunakan krama inggil dalam percakapan sehari-hari dengan seseorang yang
lebih tua sehingga kerapkali dianggap tidak sopan. Penyebabnya, tidak lain
karena kurangnya penerapan bahasa daerah dalam pembangunan pendidikan di
Indonesia.
Tidak
hanya aspek bahasa, keterasingan budaya juga terlihat dari ketidaktahuan
kalangan terdidik mengenai adat istiadat, sejarah, serta produk budaya khas daerahnya.
Jika demikian keadaannya, masihkah menuntut mereka mencintai tanah kelahirannya?
poliklitik.com |
Selain
keterasingan budaya, keterasingan terhadap potensi daerah juga memicu derasnya
arus urbanisasi. Peserta didik tidak disiapkan untuk mengelola potensi daerah
dan tidak terlatih untuk menerapkan ilmunya serta berkontribusi aktif bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka cenderung dicetak untuk memiliki
mental pekerja, bukannya pembuat lapangan pekerjaan. Pada akhirnya, karena
pertumbuhan calon pekerja lebih cepat dibandingkan pembukaan lapangan
pekerjaan, pengangguran pun menjadi kian tak terbendung dan melahirkan produk permasalahan
klasik seperti kemiskinan dan kriminalitas.
Hipwee |
Pembangunan Pendidikan dalam
Perspektif Budaya
Sebagai
negara padat penduduk yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman
budaya, Indonesia memiliki peluang besar untuk berkembang menjadi negara besar
dan maju seperti Tiongkok atau Amerika Serikat. Sayang, potensi besar tersebut
kian tergerus seiring masuknya produk budaya luar berupa modernisasi dan
kapitalisasi. Melalui kapitalisasi, sumber daya alam dirampok dan menyisakan ‘ampas’
berupa pencemaran lingkungan dan kemiskinan. Sementara modernisasi secara
perlahan menggerus produk-produk budaya yang telah menjadi kearifan lokal
sehingga kalangan terdidik kehilangan jati diri kebangsaannya.
Ungkapan
“wong Jawa sing ora Jawa” adalah sindiran bagi mereka yang merupakan keturunan
Jawa namun tidak memiliki pandangan hidup Jawa. Tindakan korupsi yang dilakukan
pejabat adalah salah satu sinyal bahwa seseorang telah kehilangan jati diri
kejawaannya. Sebab nilai luhur Jawa mengajarkan bahwa seseorang “aja nganggo
aji mumpung”. Artinya, seseorang tidak boleh memanfaatkan posisi tertentu untuk
mengambil kesempatan di jalan yang tidak benar.
Ilustrasi diambil dari: kspi |
Tindakan
korupsi juga menjadi ciri seseorang kehilangan pandangan hidup Jawa yang
mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Mereka ingin hidup enak dan
mewah, namun malas bekerja keras sehingga mengambil jalan pintas dengan
mengambil hak orang lain.
Atas
dasar itulah, penting kiranya dilakukan pembenahan secara mendasar dalam
mengubah perilaku manusia agar memiliki pandangan hidup yang lebih mulia, yakni
melalui pendidikan berbasis kearifan lokal. Model pendidikan berbasis kearifan
lokal mampu menjadi sarana bagi generasi tua untuk mewariskan nilai-nilai luhur
sesuai kebudayaan masing-masing daerah. Sehingga orang Jawa memiliki perilaku
dan cara pandang hidup Jawa, bukan kebarat-baratan atau lainnya. Hal ini sesuai
dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa orang Jawa harus atau boleh belajar
tentang kehidupan Barat, tetapi tidak harus menjadi orang Barat atau
berpandangan hidup Barat. Begitupun dengan daerah atau suku lain di Indonesia.
Mempertahankan
kearifan lokal juga penting untuk menghindari tindakan eksploitatif kaitannya
pengelolaan sumber daya alam, sebab lazim masyarakat sekitar mengelolanya
berdasarkan pada prinsip keseimbangan. Salah satunya kearifan lokal masyarakat
Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam hutan. Sejumlah aturan yang
diterapkan masyarakat Aceh terkait pengelolaan hutan antara lain larangan
menebang pohon pada radius 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata
air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi
kiri-kanan sungai, serta kisaran 50 meter dari tepi anak sungai (Wikipedia). Kearifan
lokal tersebut terbukti dapat meminimalkan resiko bencana, salah satunya dampak
banjir akibat hujan deras.
www.slideshare.net |
Pendidikan
berbasis kearifan lokal juga memiliki relevansi yang tinggi dengan situasi
konkrit peserta didik sehari-hari sehingga memberikan ruang bagi pengenalan dan
pengembangan keterampilan serta potensi lokal masing-masing daerah.
Adapun
praktik pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal bisa dilakukan dengan
cara menyisipkannya pada setiap mata pelajaran. Semisal, praktik memasak
makanan khas daerah melalui mata pelajaran tata boga. Presentasi sejarah lokal melalui
mata pelajaran sejarah. Telaah karya sastra lokal dan pembuatan karya tulis
mengenai potensi daerah melalui pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan
bahasa Inggris. Pengenalan potensi alam lokal dan analisis dampak lingkungan hidup
atas praktik pengelolaan sumber daya alam melalui mata pelajaran Sains, dan
sebagainya.
Simulasi pendidikan berbasis kearifan lokal. Sumber gambar: Sekolah Alam Kreatif Bandung |
Pembangunan
pendidikan berbasis kearifan lokal juga bisa diterapkan pada peserta didik
kelompok usia dini, salah satunya melalui kegiatan mendongeng.
http://blog.act.id |
Tentu masih banyak praktik pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal yang lebih efektif. Intinya, bagaimana pembangunan pendidikan mampu menumbuhkan rasa kepemilikan yang kuat dalam diri anak bangsa sehingga mereka mencintai kampung halamannya, mencintai budayanya, dan mengenali potensi-potensi yang ada di sekitarnya. Lalu kematangan ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan dijadikan senjata dalam mengelola dan mengembangkan potensi lokal yang ada sehingga ia memiliki nilai tambah, daya guna serta pelestarian demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Apabila
cita-cita mulia ini telah terwujud dan lapangan pekerjaan terbentang lebar di
setiap daerah, saya yakin urbanisasi besar-besaran yang melahirkan kemacetan,
pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan bisa segera terselesaikan. Pemerataan
ekonomi yang diidam-idamkan juga bisa segera terwujud dalam jangka waktu yang
tidak terlalu lama. Semoga saja.
Daftar
Rujukan:
Marlupi,
Anna Sri. 2011. Pendidikan Berbasis
Kearifan Lokal. Diambil dari: http://www.pangudiluhur.org/berita/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal-oleh-anna-sri-marlupi-s-s.104.html.
Diakses pada 2 November 2016.
Mampioper,
Dominggus A. 2009. PT Freeport Indonesia dan
Konflik Konflik Sosial di Papua. Diambil dari: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=PT%20Freeport%20Indonesia%20dan%20Konflik%20Konflik%20Sosial%20di%20Papua&dn=20090811170157.
Diakses pada: 7 November 2016.
Nurhayati,
Endang. Nilai-Nilai Luhur Dalam Ungkapan
Jawa Sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat Berbudaya. Diambil dari: http://ki-demang.com/kbj5/index.php/makalah-pengombyong/1205-23-nilai-nilai-luhur-dalam-ungkapan-jawa-sebagai-fondamen-kehidupan-masyarakat-berbudaya/.
Diakses pada: 7 November 2016.
Pramudya,
Bob Ilham. 2015. Kebobrokan Freeport - Pencemaran
Lingkungan & Pelanggaran HAM Perusahaan Emas Terbesar di Indonesia.
Diambil dari: http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia_5519c8bca33311a61bb6595c.
Diakses pada: 3 November 2016.
Gloria.
2015. Menilik Solusi Pembangunan Melalui
Kacamata Budaya. Diambil dari: https://ugm.ac.id/id/berita/10817-menilik.solusi.pembangunan.melalui.kacamata.budaya.
Diakses pada: 31 Oktober 2016.
Gusti.
2011. Komunikasi Pembangunan Tidak Harus Mengadopsi
Teori Barat. Diambil dari: https://ugm.ac.id/id/berita/3523-komunikasi.pembangunan.tidak.harus.mengadopsi.teori.barat.
Diakses pada: 31 Oktober 2016.
Hermawan,
Febri. 2014. Karya Desainer Ini Mendunia.
Diambil dari: http://kebumenmuda.com/2014/09/24/karya-sang-interior-desainer-ini-mendunia/.
Diakses pada: 28 Oktober 2016.
Qurani,
Annisa. 2015. Heart Of Spora. Diambil
dari: http://kebumenmuda.com/2015/09/07/heart-of-spora-bagian-1-empowering-with-heart/.
Diakses pada: 28 Oktober 2016.
Komentar
Posting Komentar