Dokumen Pribadi Pak Arsono |
“Ketika manusia kehilangan kemanusiaannya,
itulah saatnya kita tak lagi menjadi manusia.”
(Arsono, Relawan Pelestari Lingkungan PMI
Jakarta Utara)
Enam tahun yang
lalu, di sebuah rumah sakit swasta di Kebumen, aku terbaring di atas kasur
sederhana berselimut kain putih belang-belang. Ruangan itu cukup luas, dan
terbagi atas beberapa bilik. Aku ada di salah satu di antara bilik sederhana
itu bersama dua remaja lainnya di dua bilik berbeda.
Semula aku
merasa baik-baik saja berada di rumah sakit itu, bahkan merasa jauh lebih baik
dibandingkan sewaktu menderita sakit di rumah (ada dokter ramah yang merawatku,
ada Mama, Papa dan Mbak Arum yang bergantian menjagaku, dan selera makanku yang
berangsur pulih paska diinfus). Tapi semua kenyamanan itu seketika terusik oleh
kehadiran segerombol remaja berseragam dan seorang guru yang menjenguk pasien
tetangga di bilik sebelah. Aku tak paham persis berapa jumlahnya, tetapi dari
riak tawanya, jariku bisa menghitung bahwa jumlah mereka melebihi 10. Jumlah
yang membuat hatiku seketika miris.
Di saat-saat
seperti ini, mengapa tak seorang teman pun datang menjenguk? Bahkan beberapa
kali mata ini melirik ke layar ponsel, tak satu pun pesan masuk untuk sekadar
bertanya, “bagaimana kondisimu? Apakah sudah membaik?”
Pulang dari
rumah sakit paska menginap secara intensif, bukan sapa tetangga yang menyambut
kesembuhanku, melainkan cibir dan nyinyir tetangga yang seolah-olah “mensyukuri”
sakitku sebagai karma atas cekcok Mama dan Nenek tempo hari sebelumnya. Sejak
saat itu, aku menderita sakit yang lebih parah dibandingkan sakit yang
kurasakan dua hari sebelumnya. Sakit yang tak kunjung sembuh walau dimakan
tahun sekalipun. Yang membuat hubungan antara keluarga dan tetangga menjadi
tidak harmonis. Seiring dan sejalan dengan runtuhnya kebersamaan dan rasa
kemanusiaan di antara kami.
Lama aku
terkukung oleh persepsi bahwa hidup harus mengumpulkan sebanyak mungkin uang
agar tak sampai dihina tetangga, supaya keluarga kami tak membutuhkan bantuan
tetangga. Juga, hidup tak boleh sakit agar tak menjadi bahan nyinyir orang
lain. Sekian waktu berlalu, aku hidup untuk uang dan selama kurun waktu itu
pula aku tak pernah merasa bahagia. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam
diriku, tetapi apa?
Di tahun 2012, bos
di tempatku bekerja memberikan amanah kepada anak-anak buahnya untuk memberikan
sejumlah uang kepada orang-orang miskin di desa sekitar tempat tinggal kami.
Aku pun menyampaikan amanah tersebut dengan membagikan amplop berisi selembar
uang kepada tetangga yang dalam pandangan kami kurang mampu. Tak berselang tiga
hari, salah seorang tetangga yang menerima uang tersebut mendadak bersikap
ramah (biasanya, bahkan ketika aku mencoba untuk tersenyum, beliau langsung
memalingkan muka). Setiap kali kami tak sengaja berpapasan, beliau selalu
melempar senyum dan tak henti-hentinya berucap terima kasih. Padahal uang
tersebut tidak keluar dari kantong pribadiku, melainkan dana titipan.
Hingga aku
tersadar bahwa ada hal sederhana yang selama ini kutinggalkan. Sesuatu yang
lama kulupakan hingga membuatku merasa tak pernah bahagia. Menjadi seperti
bukan manusia: berbagi.
Di belahan bumi
berbeda, aku menyaksikan begitu banyak bencana terjadi di muka bumi ini, mulai
dari banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dan bencana-bencana lain yang tak
selalu disebabkan oleh takdir alam, melainkan juga ulah manusia yang kerapkali
merusak lingkungan. Pengusaha serakah membakar hutan-hutan lindung untuk
dijadikan hutan pinus, warga apatis membuang limbah rumah tangga ke sungai,
pemerintah tak acuh meski banjir mematikan kehidupan ratusan ribu orang dengan
membiarkan pembangunan tak berkelanjutan, sementara aku dan banyak orang yang
melihat atau mendengar kejadian ini hanya bisa menghujat, mengeluh, atau justru
berdiam diri seolah tak terjadi apapun.
Sampai aku
bertanya dalam hati: masihkah ada yang peduli dengan bumi kita? Bukankah menjaga
bumi sama halnya dengan menjaga eksistensi manusia? Jika tak lagi peduli dengan
bumi, hilangkah pula kepedulian manusia terhadap sesamanya?
Krisis
kemanusiaan itu seketika membuatku berpikir: masihkah perlu berbuat baik di
dunia yang tidak lagi dihuni “manusia”? masihkah ada sisa makhluk hidup selain
“pabrik uang” yang orientasi hidupnya tak melulu soal uang?
Hingga suatu
hari, aku berkenalan dengan Pak Arsono, pejuang pelestari lingkungan yang
berada di bawah bendera PMI. Beliau adalah satu di antara sekelumit makhluk hidup
yang masih “genap” menjadi “manusia”, yang melestarikan lingkungan demi menjaga
eksistensi manusia.
Berawal dari kegiatan
kepemudaan pecinta lingkungan, Pak Arsono kemudian bergabung menjadi salah satu
relawan PMI melalui program Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan
Iklim (PRB-API) pada tahun 2012 yang disponsori oleh American Red Cross sebagai
donasinya. Beliau adalah salah satu orang yang antusias ketika mendapatkan
informasi dari Pak RW bahwa ada perekrutan Relawan PMI di kelurahan. Maka
beliau dan beberapa kawan lainnya segera mendaftarkan diri dan mengikuti
pelatihan selama seminggu di kelurahan. Usai pelatihan, beliau lantas turun ke
lapangan dan mulai melancarkan aksinya dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan, hingga saat ini.
Sebuah Pengabdian
Berenang, dalam
benak kita adalah sesuatu yang identik dengan kolam renang, pantai, danau, atau
sungai dengan air jernih yang memantulkan biru langit dan putih tumpukan awan
yang melukis indah. Juga, aneka binatang air yang meliuk-liuk dengan warna-warni
yang memanjakan mata. Tetapi semua gambaran itu tak berlaku bagi Arsono,
Relawan Pelestari Lingkungan PMI di Sukahati, Kabupaten Bogor. Baginya,
berenang adalah sesuatu yang identik dengan sungai, dengan air keruh yang dilengkapi
manik-manik berupa tumpukan sampah plastik dan limbah rumah tangga lainnya.
Jika berenang pada
umumnya membuat badan menjadi lebih segar dan bugar, maka yang terjadi pada
Arsono justru sebaliknya. Kulitnya yang kecoklatan kian matang dihantam terik
matahari. Tubuhnya yang segar diterpa bau busuk sampah dan kotoran. Dan sekujur
tubuhnya dilanda gatal lantaran dikerubungi kawanan kuman tak kasat mata.
Namun semua “penderitaan”
itu tak lantas membuat Arsono patah semangat. Justru sebaliknya, ia merasa
lebih bahagia ketika bergabung bersama PMI sebagai salah satu relawan pelestari
lingkungan.
“Bukan karena
mendapatkan harta benda, tapi mendapatkan ilmu yang luar biasa dan menambah
banyak teman hingga seperti keluarga,” katanya sambil menunjukkan emotion bahagia dan kepalan semangat.
Kobaran
semangat dan sinar kebahagiaan itulah yang senantiasa terpancar di raut wajah
Arsono. Meski saban hari disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pedagang kue,
namun Pak Arsono tak lantas membutakan mata terhadap kejadian-kejadian miris di
sekitarnya. Melalui misinya “bersama masyarakat memberdayakan sampah untuk
dijadikan sesuatu yang bermanfaat”, Pak Arsono senantiasa ceria guyup bersama
masyarakat untuk menanamkan semangat pelestarian lingkungan. Beliau aktif
melatih kreatifitas daur ulang sampah, membuat taman vertikal garden, membuat
lubang resapan biopori, hingga aktif dalam kegiatan bersih Kali Opak dan pesisir
muara Sunda Kelapa. Beliau bahkan tak segan untuk turun tangan dalam evakuasi
korban bencana banjir. Salah satunya banjir setinggi 1 setengah meter yang
melanda kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara di tahun 2013 lalu,
yang salah satu korbannya adalah ibu-ibu yang mengalami pendarahan ketika akan
melahirkan.
Segala upaya
penuh keringat itu dilakoninya dengan berlandas pada prinsip kemanusiaan,
kesamaan, dan kesukarelaan, yang juga merupakan tiga prinsip dasar PMI. Tak ada
pamrih dalam bentuk apapun, termasuk secuil penghargaan berupa ucapan terima
kasih dari masyarakat sekitar. Pernah suatu ketika Pak Arsono bersama
teman-teman relawan melakukan kegiatan bersih kali menggunakan perahu di
pesisir pelabuhan Sunda Kelapa. Setelah dua jam melakukan ruwat dan hendak naik
ke darat, tiba-tiba seorang ibu berumur kisaran 45 tahun dari arah seberang
membuang sampah satu karung ke kali dan langsung nyelonong pergi. Kejadian itu
tak memancing sedikit pun rasa kesal di hati Pak Arsono. Sebaliknya, menjadi
teguran bagi beliau agar lebih gencar dalam melakukan sosialisasi kepada
masyarakat.
Bahkan ketika banyak
cibiran menghantam gendang telinganya, Pak Arsono tak pernah ambil pusing. Beliau
terus memotivasi diri bahwa kegiatan kemanusiaan yang dilakoninya akan memberikan
manfaat bagi banyak orang, sambil terus mengharap ridho Allah dan mengingat
sabda Rasul dalam salah satu riwayat hadisnya, bahwa sebaik-baik manusia adalah
yang paling berguna untuk orang lain.
Pak Arsono
yakin, jika Kali Opak yang merupakan anak kali Ciliwung bersih dari sampah, maka
permasalahan banjir yang menjadi agenda rutin Ibukota bisa segera terselesaikan.
Itu artinya, ia telah menyelamatkan jutaan orang dari resiko penyakit diare, demam
berdarah, penyakit kulit, ISPA, dan beragam penyakit lain yang mengancam
keselamatan jiwa seseorang. Ia juga telah menyelamatkan ribuan rumah dan gedung
dari resiko kerusakan, termasuk aneka benda yang ada di dalamnya. Menyelamatkan
sawah, ladang, jalur transportasi, yang artinya menyelamatkan pula perekonomian
masyarakat.
Membersihkan
Kali Opak dari sampah juga merupakan salah satu upaya memulihkan kualitas air
sungai yang keruh dan tercemar sehingga bisa menunjang kehidupan warga, seperti
air untuk minum, mandi, irigasi, dan ikan sebagai lauk bergizi.
Melalui pelatihan
kreatifitas daur ulang limbah, Pak Arsono juga berharap masyarakat tak lagi
membuang sampah di sungai dan sebaliknya memanfaatkan limbah tersebut dengan
mendaur ulangnya menjadi barang bernilai ekonomi tinggi, sehingga memberikan
tambahan penghasilan untuk masyarakat.
Dengan
demikian, aksi kemanusiaan Pak Arsono sejatinya tidak hanya memberikan efek
positif bagi lingkungan saja, melainkan juga di berbagai aspek kehidupan lainnya
termasuk kesehatan dan ekonomi. Maka gelar “relawan pelestari lingkungan” pada
dasarnya hanya satu dari sekian dampak positif yang timbul atas aksi
kemanusiaan beliau.
Sewaktu ditanya
mengenai suka-duka, Pak Arsono menjawab tegas, “tidak ada dukanya, selalu suka.
Sebab menjadi relawan adalah sebuah pengabdian.”
Saya merinding
membaca pesan tersebut. Terasa tertampar jiwa saya menyadari betapa mulianya
hati beliau. Kemudian terbetik dua pertanyaan besar dari dalam lubuk hati saya:
Sama-sama sibuk
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, mengapa saya tidak bisa meluangkan
waktu untuk berbagi dengan sesama? Sama-sama masih muda dan memiliki
kesempurnaan fisik, mengapa saya masih enggan beranjak dari kursi kantor dan menyeburkan
diri ke kali, memungut sampah-sampah plastik yang terapung di permukaan?
Jujur saya malu
mendengar kisah perjuangan Pak Arsono dalam mengemban tugas kemanusiaannya.
Begitupun saya bangga mengenal sosok hebat seperti beliau. Sosok yang sangat
inspiratif, ramah, dan berhati mulia.
Terima kasih,
Pak Arsono, telah mengingatkan saya tentang arti penting berbagi. Terima kasih
telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan bumi dari kepunahannya. Terima
kasih telah menjadi sekelumit makhluk hidup yang masih menjadi “manusia”.
Dan terima
kasih PMI, telah menemukan sosok hebat seperti beliau.
Semoga Allah menjaga
hatimu agar senantiasa konsisten dalam mengemban misi kemanusiaan, Pak. Semoga
cita-citamu untuk membangun galeri produk kerajinan daur ulang sampah bisa
segera terealisasi. Dan semoga kisah kemanusiaanmu ini menjadi penggugah
jiwa-jiwa yang tertidur agar segera terbangun dari perasaan tak bersalahnya. Supaya
mereka mendapatkan kembali rasa kemanusiaannya dan menjadi manusia seutuhnya. Manusia
yang peduli terhadap bumi dan segenap makhluk yang ada di dalamnya, termasuk
manusia.
Komentar
Posting Komentar