Langsung ke konten utama

Postingan di Akun Facebook, Menambah atau Mengurangi Kadar Toleransi Keberagamaan Bangsa?



“Belajar dari Kasus Razia Warung di Bulan Puasa”
Sabtu, 11 Juni 2016, saya sempat membaca sebuah postingan di akun Facebook Fahd Pahdepie yang intinya mengutarakan kekecewaan terhadap aparat satpol PP yang menutup dan menyita paksa dagangan seorang ibu pemilik warung. Dalam postingan tersebut, Fahd—jika boleh saya memanggilnya demikian, mempertanyakan landasan pikir kepala daerah yang mengeluarkan aturan tersebut, mempertanyakan dasar moral dan dalil agama yang membenarkan tindakan mereka, serta menuntut keimanan mereka yang—dalam pandangan Fahd begitu angkuh.
Dalam postingan berbeda, Fahd kemudian menyodorkan sabda Nabi; Assiyamu junnatun, artinya puasa adalah perisai. Puasa itu untuk bertahan, bukan pedang untuk menyerang, tandas Fahd gagah. Maka biarkan saja warung tetap buka, orang-orang yang tidak berpuasa makan di dekat orang berpuasa, lalu orang yang berpuasa mengatakan pada diri sendiri: Inni shaimun, Aku sedang berpuasa. Bukan dengan memaksa mereka “menghormati” orang yang berpuasa.
Sumber: Akun Facebook Fahd Pahdepie
Sepakatkah saya dengan pernyataan Fahd tersebut? Awalnya iya, bahkan saya sempat membagikan postingan tersebut di kronologi Facebook saya. Namun setelah membaca postingan “bantahan” dari akun Facebook Suluh Prasetyo Rendra Utomo (11 Juni 2016), kesepakatan itu berbalik. Dalam postingan tersebut, Suluh membeberkan sejumlah analisa termasuk fakta di balik kebijakan penutupan warung pada siang hari oleh pemerintah Serang, Banten.
Pertama, fakta bahwa puasa di bulan Ramadhan adalah suatu hal yang wajib, sehingga apabila ada udzur yang memaksanya untuk tidak berpuasa, seorang Muslim wajib menggantinya di hari yang lain atau membayar kafarat (denda). Kedua, Serang sebagai kota dengan julukan “Kota Santri” memiliki sekitar 600.000 warga Muslim dan kurang dari 20.000  warga non-Muslim (data 2014). Dalam perhitungan matematika, perbandingan jumlah orang yang tidak berpuasa (diluar anak kecil) dibandingkan orang yang berpuasa adalah 1:30. Jika ada dua warung dalam satu kampung dari sejumlah 60 warga/RT, dimana masing-masing RW terdapat 10 RT, maka masing-masing warung hanya akan memperoleh pembeli maksimal 10 orang saja. Jika modal perhari untuk membuka warung kecil-kecilan sekitar 300-500rb dan warung hanya mampu mendatangkan 10 pembeli dengan asumsi harga per menu 15ribu, maka warung itu hanya mampu menghasilkan omset maksimal 150ribu saja. Ini artinya, para pemilik warung menderita rugi minimal separuh dari modal.
Namun faktanya, omzet justru meningkat di bulan Ramadhan. Mengapa? Rupanya, ada “konspirasi dosa” antara pelanggar perintah puasa (pembeli) dengan fasilitator pelanggaran puasa (pemilik warung). Muslim “tidak taat” inilah yang menjadi pelanggan warung yang buka di siang hari. Maka demi mencegah kemungkaran itulah pemerintah daerah Serang menerapkan kebijakan penutupan warung di siang hari. Kebijakan yang dalam pandangan penulis mengimplementasikan seruan Tuhan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Tapi bagaimana dengan nasib para pemilik warung yang menggantungkan hidupnya dari hasil berjualan di warung kecil-kecilan tersebut? Masih dalam postingan yang sama, Salim menjawabnya dalam poin ke-12. Menurut Salim, warung tidak harus ditutup seharian penuh, melainkan hanya di jam-jam orang berpuasa saja (Subuh hingga Maghrib). Sementara di jam berbuka hingga sahur, mereka tetap bisa berjualan. Bahkan kemungkinan besar lebih laris dibandingkan hari-hari di luar Ramadhan. Inilah berkah Ramadhan yang sesungguhnya, meraup asa di jalur yang tak mengganggu kekhusyukan orang beribadah.
Bentuk toleransi serupa untuk menjaga kekhusyukan orang beribadah juga diberlakukan pada perayaan Nyepi di Bali. Pada saat pelaksanaan Catur Brata Penyepian, ketua adat Bali menerapkan kebijakan pemberhentian semua aktivitas di Bali termasuk penerbangan pesawat, kapal laut, angkutan darat, pelarangan penduduk atau wisatawan keluar dari rumah/penginapan, larangan membuat kegaduhan, hingga pelarangan aktivitas memasak dan menghidupkan listrik.
www.disparda.baliprov.go.id

Apakah ini berarti semua orang di Bali beragama Hindu dan merayakan Nyepi? Tentu saja tidak. Meskipun menjadi agama mayoritas, tidak semua orang di Bali beragama Hindu. Namun umat non-Hindu di Bali menghormati peribadatan Nyepi dan mematuhi sejumlah aturan yang berlaku di sana. Jika melanggar, bersiaplah untuk menerima hukuman adat dan denda.
Jika semua aktivitas diberhentikan, bagaimana aktivitas perekonomian di Bali? Apakah menurun? Tidak. Justru menaik. Hal ini karena diluar pelaksanaan Catur Brata Penyepian, terdapat Festival Ogoh-ogoh yang justru menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Maka jangan heran apabila sebelum pelaksanaan Catur Brata Penyepian, penerbangan di Bali menjadi ramai, reservasi hotel meningkat dan supermarket sesak oleh warga yang berbelanja guna mempersiapkan segala hal menyambut Catur Brata Penyepian.
Hal serupa juga berlaku di momen Ramadhan. Menjelang Ramadhan, supermarket sesak oleh warga yang mempersiapkan kebutuhan saur dan berbuka, begitupun banyak warga yang menjadi penjual dadakan aneka menu berbuka puasa, kerudung, baju Muslim dan sebagainya. Momen peribadatan senantiasa menjadi berkah bukan hanya bagi pengusaha berskala besar, melainkan juga pedagang kecil bahkan rakyat biasa.
Meskipun serupa, mengapa pemberhentian aktivitas di Bali pada momen Nyepi tidak memicu perdebatan? Mengapa ketua adat Bali tidak mendapat kecaman selayaknya pemerintah daerah di Serang?
Inilah hebatnya media massa menggiring opini publik sehingga seolah-olah ada rakyat kecil yang tertindas oleh kebijakan tertentu pemerintah. Padahal kebijakan tersebut sudah lama diterapkan dan tidak pernah diperdebatkan. Naasnya, media sosial membuat opini menyebar sedemikian cepatnya sehingga memicu beragam reaksi publik dunia maya. Interpretasi dangkal yang diungkapkan dalam postingan Facebook dengan menyudutkan aturan berbau syariat kian menguatkan opini bahwa Islam adalah agama yang intoleran, angkuh, dan “sok kuasa”. Ini berbahaya bagi sebagian orang yang masih awam tentang Islam sehingga berpotensi besar memicu konflik antar agama, bahkan konflik intern Islam dengan mengkafirkan aliran-aliran Islam tertentu.
Sumber: Fanspage Media Aswaja

Apakah ini berarti media sosial adalah “biang kerok” atas kasus ini? Sama sekali tidak.
Facebook, sama halnya dengan media sosial lainnya, pada dasarnya bersifat netral. Dia bisa menjadi tempat menumbuhkan rasa toleransi antar umat beragama, begitupun efektif dalam membunuh rasa toleransi tersebut. Tinggal bagaimana kita mengisi “ruang kosongnya” agar tidak terkesan tendensius sehingga menggiring ke konflik berbau SARA. Salah satunya dengan memposting informasi positif mengenai keberagaman pelaksanaan peribadatan di setiap daerah di Indonesia. Beberapa contohnya bisa dilihat di akun Twitter @SebangsaID dan Instagram @Icrs_Yogya.


Pada akhirnya, semoga kita bisa lebih bijak dalam menanggapi sebuah berita di media massa dan tak gegabah untuk menyebarkan interpretasi kita di media sosial. Sebab “bersuara” di media sosial sama saja dengan berbicara di mimbar dunia. Siapapun bisa “mendengar” suaramu, dan siapapun bisa terpancing oleh “omonganmu”. Jangan sampai, “suara” kita menjadi penyebab robohnya dinding persaudaraan antar umat beragama.

“artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa”
http://icrs.ugm.ac.id/10years


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setangkup Mimpi Bersama Mama

Mama dulu bermimpi, menyaksikan anak Mama berdiri di atas panggung sambil memegang piala.  Lalu Mama diminta untuk berdiri di samping anak Mama disambut riuh tepuk tangan orang banyak. Wah, pasti bangga sekali memiliki anak yang berprestasi. Pernyataan itu begitu menusuk hatiku. Betapa aku telah gagal mewujudkan impian sederhana Mama. Bukan berarti aku tidak mencoba untuk mewujudkannya. Namun setiap kali mencoba, aku selalu gagal. Bahkan hingga lulus SMA, belum ada satupun piala yang berhasil aku bawa pulang. Akankah aku menyerah? Tentu saja tidak. Justru pernyataan itu menamparku untuk berusaha lebih keras lagi. Aku mengikuti beragam lomba menulis dan beberapa kali memenangkannya. Sayang, tidak ada awarding ceremony sehingga impian untuk berdiri sambil memegang piala di hadapan banyak orang masih belum terwujud. Hingga suatu ketika, aku mendapat telepon dari panitia lomba untuk menghadiri acara penganugerahan pemenang lomba blog di Jakarta. Seketika perasaanku membumbung tinggi

Dedikasi 60 Tahun Astra, Inspirasi Keberlanjutan Menuju Kebanggaan Bangsa

Menjejaki usia 60 tahun bagi sebuah bisnis bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak perusahaan mampu selamat dari badai krisis bersejarah 1998 yang membangkrutkan perekonomian nasional. Satu dari sedikit bisnis yang mampu bertahan itu adalah Astra. Meski tertatih, Astra membuktikan diri bangkit dan berkembang pesat hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan terbaik regional dalam kurun waktu kurang dari 60 tahun. Dari hanya memiliki empat karyawan, kini jumlah karyawan Astra telah membengkak hingga 221.046 yang bekerja di 198 perusahaan Grup Astra. Aktivitas bisnis Grup Astra pun berkembang pesat meliputi enam lini bisnis, yaitu otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan agribisnis, infrastruktur, logistik serta teknologi informasi. Pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kemapanan finansial yang baik membuat Astra lebih tangguh menghadapi badai-badai selanjutnya, termasuk tantangan melemahnya perekonomian global sepanjang tahun 2015 lalu. Astra bahkan masih sangg

Jejak Perjuangan Fatmawati, Sang Perajut NKRI #FatmawatiPerajutNegeri #PahlawanBengkulu

Rumah panggung yang terletak di Jalan Fatmawati Nomor 10 Kota Bengkulu itu tampak lengang seperti biasanya. Hanya petugas dan sesekali pengunjung yang bertandang ke bangunan tua nan asri tersebut. Gurat sejarah yang terukir di sudut-sudut ruangan seolah gagal membangkitkan minat masyarakat untuk menggali lebih dalam sosok ibu negara pertama ( first lady -nya) Indonesia tersebut. Padahal seperti pejuang lainnya, Fatmawati memiliki peran penting dalam proses kelahiran bangsa Indonesia. Maka dari itu, menjelang hari pahlawan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengenal lebih jauh sosok Fatmawati sebagai salah satu pahlawan nasional wanita di Indonesia. Merajut Cinta dan Asa untuk Indonesia Bersama Bung Karno Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Fatmawati menyusul sang suami ke Jakarta dan bergabung bersama para pejuang lainnya untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bersama sang suami, Fatmawati kerapkali mengeluarkan pendapatnya mengenai langkah-l