"Habis Gelap Terbitlah
Terang"
Begitu semangat juang Kartini yang tercurah dalam surat-surat monumentalnya. Sebuah cita-cita luhur yang menginspirasi perempuan-perempuan di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-haknya, utamanya di bidang pendidikan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan kaum-kaum patriarki. Kartini muda yang hidup di lingkungan tradisi Jawa kental itu merasa bahwa perempuan-perempuan Indonesia diperlakukan secara tidak adil lantaran tak diperkenankan menempuh pendidikan tinggi. Wanita dalam era itu hidup dalam "kegelapan" lantaran tak disinari cahaya ilmu yang mampu membuka jendela-jendela pemikirannya. Kaki-kaki mereka diikat oleh cengkeraman tradisi yang memaksanya menikah di usia yang sangat dini; 12 tahun, lalu mengurung mereka di sangkar-sangkar rumah demi melayani suami dan anak. Wilayah "kekuasaan" perempuan seolah hanya terbagi atas tiga bagian saja; kasur (ranjang), sumur (kamar mandi), dan dapur. Padahal, wanita memiliki potensi akal yang setara dengan laki-laki, yang apabila dikembangkan mampu menjadi modal baginya menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
Kini, berkat kegigihan Kartini dalam menyuarakan hak-hak perempuan, "kegelapan" pun perlahan sirna dari muka bumi ini, terganti oleh sebentuk sinar yang mampu menerbitkan terang kehidupan kaum perempuan. Tidak ada lagi larangan pendidikan bagi kaum perempuan, tidak pula sebentuk jeruji yang menghalanginya masuk ke dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu. Wanita dalam kapasitas dan kapabilitasnya berhak menempuh pendidikan setinggi mungkin dan pilihan karir sebaik mungkin. Bahkan pernikahan sekalipun tidak mampu dijadikan tembok penghalang bagi mereka melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.
Namun hak-hak ini kemudian disalahartikan oleh beberapa pihak, bahkan disalahfungsikan. Emansipasi dianggap sebagai bentuk penyamarataan hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, hingga berujung pada eksploitasi perempuan. Hak bekerja misalnya, seringkali justru disalahartikan sebagai penyamarataan kewajiban bekerja. Pada banyak kasus, orang tua menyerahkan kewajiban mencari nafkah dari pundaknya ke pundak anak perempuan mereka ketika lulus pendidikan. Begitupun dalam lingkup rumah tangga, suami memindahkan beban "punggung keluarga" kepada istrinya. Walhasil, beban wanita sebagai tonggak keberhasilan dan keharmonisan rumah tangga, masih harus ditumpuk dengan beban sebagai tonggak stabilitas ekonomi keluarga. Hal ini yang kemudian penulis sebut sebagai salah kaprah emansipasi wanita di era modern, gerak perlawanan berujung penindasan.
Begitu semangat juang Kartini yang tercurah dalam surat-surat monumentalnya. Sebuah cita-cita luhur yang menginspirasi perempuan-perempuan di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-haknya, utamanya di bidang pendidikan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan kaum-kaum patriarki. Kartini muda yang hidup di lingkungan tradisi Jawa kental itu merasa bahwa perempuan-perempuan Indonesia diperlakukan secara tidak adil lantaran tak diperkenankan menempuh pendidikan tinggi. Wanita dalam era itu hidup dalam "kegelapan" lantaran tak disinari cahaya ilmu yang mampu membuka jendela-jendela pemikirannya. Kaki-kaki mereka diikat oleh cengkeraman tradisi yang memaksanya menikah di usia yang sangat dini; 12 tahun, lalu mengurung mereka di sangkar-sangkar rumah demi melayani suami dan anak. Wilayah "kekuasaan" perempuan seolah hanya terbagi atas tiga bagian saja; kasur (ranjang), sumur (kamar mandi), dan dapur. Padahal, wanita memiliki potensi akal yang setara dengan laki-laki, yang apabila dikembangkan mampu menjadi modal baginya menyelenggarakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
Kini, berkat kegigihan Kartini dalam menyuarakan hak-hak perempuan, "kegelapan" pun perlahan sirna dari muka bumi ini, terganti oleh sebentuk sinar yang mampu menerbitkan terang kehidupan kaum perempuan. Tidak ada lagi larangan pendidikan bagi kaum perempuan, tidak pula sebentuk jeruji yang menghalanginya masuk ke dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu. Wanita dalam kapasitas dan kapabilitasnya berhak menempuh pendidikan setinggi mungkin dan pilihan karir sebaik mungkin. Bahkan pernikahan sekalipun tidak mampu dijadikan tembok penghalang bagi mereka melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.
Namun hak-hak ini kemudian disalahartikan oleh beberapa pihak, bahkan disalahfungsikan. Emansipasi dianggap sebagai bentuk penyamarataan hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, hingga berujung pada eksploitasi perempuan. Hak bekerja misalnya, seringkali justru disalahartikan sebagai penyamarataan kewajiban bekerja. Pada banyak kasus, orang tua menyerahkan kewajiban mencari nafkah dari pundaknya ke pundak anak perempuan mereka ketika lulus pendidikan. Begitupun dalam lingkup rumah tangga, suami memindahkan beban "punggung keluarga" kepada istrinya. Walhasil, beban wanita sebagai tonggak keberhasilan dan keharmonisan rumah tangga, masih harus ditumpuk dengan beban sebagai tonggak stabilitas ekonomi keluarga. Hal ini yang kemudian penulis sebut sebagai salah kaprah emansipasi wanita di era modern, gerak perlawanan berujung penindasan.
Wanita-wanita ini tidak hanya dibebani dari segi fisik, namun juga psikis. Lelah tubuh, letih otak, lesu jiwa. Mereka terkadang ingin memberontak, tetapi dibatasi oleh kodratnya sebagai wanita yang harus tunduk dan patuh terhadap orang tua atau suami. Hak bekerja, yang muaranya persepsi kewajiban bekerja memaksa perempuan melakukan apa saja demi menggugurkan kewajiban tersebut. Maka jangan kaget ketika himpitan ekonomi memaksa mereka terjerembap pada kubangan prostitusi. Bahkan hanya demi gaya hidup hedonis, mereka rela menjajakan tubuhnya dengan imbal puluhan juta perjam.
Dalam lingkungan tempat tinggal penulis, peran wanita sebagai pencari nafkah utama bahkan sudah menjadi pemandangan umum. Dan mirisnya, kejadian semacam itu dialami oleh orang-orang terdekat penulis, yang kemudian menginspirasi penulis untuk menorehkannya di rubik okezone.com dalam sebentuk gagasan. Beberapa saat lalu, salah seorang tetangga menemui Ibu penulis dan menceritakan beban hidup yang dialaminya. Di usianya yang tak lagi muda, dengan rambut putih yang memenuhi batok kepala bagian atas dan belakang serta tubuhnya yang mulai membungkuk, wanita itu masih harus bekerja di sawah untuk memanen padi. Yang lebih membuat miris, hasil penjualan padi itu tidak sepeserpun ia terima, melainkan dikantongi seluruhnya oleh sang suami. Ketika ia menuntut haknya, sang suami langsung memarahi dan membanting barang-barang di rumah. Bahkan mengancam hendak menceraikannya. Penulis bisa merasakan kepedihan itu lewat air mata beliau.
Kisah berbeda namun senada dialami
oleh tetangga sekaligus saudara jauh penulis. Setiap hari, ibu muda ini harus
banting tulang memenuhi kebutuhan hidup dengan menjajakan sayur keliling kampung
dan pasar. Namun tanggung jawab besar ini masih harus ditumpuk dengan
kewajibannya mengurus sang buah hati yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Setiap
pagi, sambil membawa keranjang di bagian belakang kanan-kiri jok motor, ibu
muda itu harus membawa serta putranya untuk diantar sekolah. Pernah suatu hari
ia meminta sang suami yang mengantar anaknya ke sekolah supaya ia tak kesiangan
berjualan di pasar—karena umumnya orang berbelanja di pagi hari, namun sang
suami menolak dengan alasan masih mengantuk. Ya, sang suami masih terbaring
tidur di saat istrinya banting tulang mencari rezeki. Beberapa saat lalu,
penulis mendengar kabar bahwa ibu muda ini keguguran lantaran di usia
kandungannya yang menginjak tujuh bulan, ia (terpaksa) masih harus bekerja di
sawah. Sungguh sebuah penindasan versi modern di dunia perempuan.
Momen Kartini kali ini, penulis
ingin menggelorakan kembali semangat perlawanan Kartini terhadap segala bentuk
penindasan terhadap hak-hak perempuan. Bukan lagi tentang hak bekerja dan
memperoleh pendidikan, tetapi bagaimana melindungi kodrat sejati perempuan
sebagai pencetak generasi bangsa yang
bermartabat. Hak-hak yang dimiliki harus dibatasi fungsinya sebagai agen pendukung
kecakapannya dalam menjalankan kodrat tersebut, bukan untuk mengeksploitasinya dengan
dalih kewajiban. Adalah tugas kita semua untuk merenungi makna emansipasi perempuan
secara hakiki, bahwa Kartini menuntut hak-hak perempuan bukan untuk menyamaratakan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, namun sebaliknya melindungi
hak-hak mereka dengan memaksimalkan segenap potensi akal. Hal ini semata-mata agar
mereka mampu menjalankan fitrahnya secara lebih baik.
Jangan sampai, cahaya yang terbit
oleh kegigihan Kartini harus redup dan mati sehingga perempuan kembali ke
masa-masa suramnya. Masa-masa penuh kegelapan.
Tulisan ini memenangkan Lomba Menulis RA Kartini dan Emansipasi Wanita, Apa Pendapatmu?
Komentar
Posting Komentar