Langsung ke konten utama

Leuser, Konservasi Bukan Deforestasi




wisata-nusantara-indonesia.blogspot.com
Berpuluh tahun yang lalu, ketika matahari baru saja keluar dari peraduannya, deru mesin pemotong kayu bersahut-sahutan di Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Menenggelamkan kicauan burung yang kian hari kian sunyi lantaran pepohonan tempat mereka bersarang ditebang oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan sawit dan penebangan liar membuat keberadaan satwa-satwa liar kian terdesak, termasuk gajah Sumatera. Sebagai satwa liar yang kerapkali berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, penebangan pohon secara massif telah memutus jalur migrasi dan menimbulkan konflik berkepanjangan antara manusia dan satwa. Populasi gajah Sumatera pun menurun tahun demi tahun, jika selama 20 tahun populasi gajah menurun sebesar 50%, maka tinggal menunggu 20 tahun lagi untuk menyaksikan fotonya terpampang di dinding monumen dan buku sejarah.
Tangkahan adalah salah satu kunci keberhasilan konservasi hutan di Sumatera, sebab keberadaannya sebagai pintu gerbang menuju kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Akan tetapi bukannya menjadi penopang, Tangkahan justru menjadi “hama” yang merusak niat baik pemerintah, dimana banyak masyarakat lokal melakukan kegiatan illegal logging. Sebaliknya bagi masyarakat, keberadaan taman nasional menjadi “jurang” yang memutus rantai perekonomian mereka. Klaim tanah negara atas TNGL telah membabat habis hak-hak rakyat atas hutan yang telah secara turun temurun dikelola oleh masyarakat lokal. Anehnya, perkebunan sawit yang nyata menjadi “lintah” bagi cadangan air tanah serta “jalan tol” bagi banjir dan tanah longsor justru tumbuh subur di kawasan yang konon merupakan areal konservasi tersebut. TNGL pun tidak lagi menjadi “jantung” yang memompa kehidupan masyarakat sekitar, melainkan “kanker” yang mematikan kehidupan mereka selangkah demi selangkah, akan tetapi pasti.
Kritik pun mengudara dari berbagai penjuru, membuat pemerintah terdesak. Pada tahun 2008, Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah (konservasi) dengan kepentingan masyarakat lokal (ekonomi). Melalui peraturan ini, pemerintah memberikan tanggung jawab kepada masyarakat setempat untuk mengelola hutan sesuai kearifan lokal masing-masing daerah—dengan tanpa mengesampingkan aspek konservatif. Maka dikembangkanlah ekowisata di areal kawasan TNGL yang kemudian diberi nama Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET). Bersama tujuh ekor gajah Sumatera terlatih, para mantan illegal loggers direkrut oleh Balai Besar TNGL untuk menjadi pemandu wisata sekaligus patroli di KET demi menghindari pembalakan liar. Di sinilah kepentingan ekonomi dan konservasi berjalan beriringan. 

webberita.net
“Kini, hutan TNGL, dekat Tangkahan menjadi salah satu kawasan aman dari gangguan. Balok-balok kayu belumut di dalam hutan menunjukkan telah terjadi illegal logging  beberapa tahun lalu namun kini sudah berhenti. Masyarakat lokal merasakan langsung bahwa ternyata yang dijual dari taman nasional bukan hanya kayu. Justru jasa lingkungan berupa jernihnya aliran sungai berkelok di alam hutan, bebatuan, lumut, liana, terjalnya bebatuan jungle trek, air terjun, arung jeram, ceruk air panas, memotret dan mengamati mekarnya Raffllesia atjehensis, wisata patroli gajah, dan sebagainya, menjadi modal dasar yang menggemakan nama Tangkahan ke dunia luar. Mereka mendapatkan manfaat langsung dari pengembangan wisata minat khusus ini. Tentu saja pendampingan pengembangan mereka oleh Indecon, TNGL, dan mitra lainnya sangat menentukan penguatan kelembagaan masyaakat lokal ini menjadi lembaga pengelola ekowisata yang cukup handal. Tangkahan telah menjadi icon baru di dunia ekowisata Leuser, nasional, dan internasional. Mulai menyaingi Bahorok/Bukit Lawang. Hutan TNGL di Tangkahan telah diposisikan sebagai “Bank”, modal pokok yang berupa hutan perawan, sungai, air terjun, kayu-kayuan, berbagai fenomena alam, flora dan fauna yang tidak diambil, tidak diganggu, sementara jasa lingkungannya justru dapat dimanfaatkan secara terbatas tetapi memberi kesempatan langsung. Ekonomi lokal mulai digerakkan oleh jasa lingkungan dan bukan bisnis kayu. Patut dicatat, Tangkahan dapat terwujud setelah upaya lebih dari 5 tahun yang secara konsisten dilakukan baik oleh masyarakat maupun Balai TNGL dan mitra.”
(tulisan Mantan Kepala TNGL tentang ekowisata Tangkahan dalam memperingati seperempat abad TNGL)
Dengan mengakui hak dan kepentingan masyarakat lokal, rasa tangggung jawab pun muncul sehingga masyarakat tak lagi menjadi “hama” bagi kepentingan konservasi, melainkan “pupuk” yang menyuburkan niat baik pemerintah. Kearifan masyarakat tidak hanya mampu memberikan sumbangan perekonomian masyarakat setempat, namun sekaligus memberi harapan bagi terjaganya kelestarian hutan dan populasi gajah.
Namun kisah pahit berujung manis TNGL tidak banyak memberikan pelajaran bagi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) lainnya. Nyatanya, Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang merupakan hutan rawa gambut terbesar di Propinsi Aceh dirambah secara massif untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Penyebabnya ada dua, yakni tidak jelasnya tapal batas di lapangan dan pembukaan jalan yang membelah kawasan konservasi tersebut.
diliputnews.com
Adalah Bulohseuma, sebuah enclave atau pemukiman di tengah hutan konservasi SM Rawa Singkil yang selama ratusan tahun terisolir tanpa jalan dan tanpa aliran listrik. Orang Bulohseuma terbiasa mengandalkan kapal boat yang membelah punggung Samudra Hindia untuk membawa barang-barang masuk dari luar daerah. Meski jauh dari riuh panggung musik, namun masyarakat Bulohseuma cukup terhibur oleh suara kicauan burung dan desiran angin di sela pepohonan bak rubek (pohon tualang). Sebuah pohon berukuran besar tempat unoe itam (lebah) bersarang. Unoe itam inilah yang menggerakkan perekonomian masyarakat melalui ie unoe (madu). Kurang lebih 600 ton ie unoe bisa dipanen masyarakat pada musim panen raya di antara bulan Agustus dan September. Ie unoe adalah alasan bagi masyarakat Bulohseuma menjaga kelestarian hutan.
Tidak hanya madu, SM Rawa Singkil juga memberikan hasil alam lainnya berupa lele rawa dan gabus yang konon memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebagai timbal balik, masyarakat diwajibkan menanam Bak Nga, pohon berakar serabut tempat ikan bertelur agar lele terus ada sepanjang tahun. Pohon-pohon inilah yang menjadi bukti kepemilikan hutan adat (hak ulayat) masyarakat Bulohseuma.
Selain dampak ekonomi, SM Rawa Singkil juga memberikan manfaat ekologis bagi masyarakat Bulohseuma dan sekitarnya, terutama pasokan air tawar dan oksigen. Lebih dari itu, SM Rawa Singkil menyimpan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah bagi satwa yang keberadaannya terancam punah, salah satunya orangutan. Sebanyak 46% dari spesies burung di Sumatera juga tinggal di sini, dimana sebagian di antaranya merupakan jenis burung langka, seperti bangau stormi dan mentok rimba.
Namun semenjak dibukanya jalan yang menerobos kawasan hutan rawa gambut menuju Bulohseuma, “wajah” SM Rawa Singkil berangsur suram dan pucat. Banyak masyarakat lokal berlomba-lomba “menghabisi” pepohonan di sepanjang jalan tersebut untuk areal pemukiman. Para pengusaha dan pejabat pemerintah pun tak kalah beringas “menodai” keperawanan SM Rawa Singkil dengan melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.

www.mongabay.co.id
Rawa Singkil pun “murka”. Bagi warga Bulohseuma, banyak unoe itam tak lagi sudi menempati bak rubek. Walhasil panen ie unoe pun semakin berkurang tahun demi tahun. Demi menyelamatkan ie unoe, masyarakat Bulohseuma pun memperketat penerapan hukum adat untuk melindungi hutan termasuk bak rubek tempat unoe itam bersarang. Masyarakat dilarang membuka hutan atau menebang pohon dalam radius dua kilometer dari bak rubek. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi adat berupa satu hidangan nasi pulut dan satu kambing serta wajib mengadakan peusijuk (kenduri adat).
Dengan penegakan hukum adat tersebut, masyarakat berharap SM Rawa Singkil tetap lestari sehingga bisa memberikan ie unoe yang merupakan penghasilan utama masyarakat Bulohseuma.
Akan tetapi harapan tersebut agaknya akan menjadi “anak panah” tanpa “busur”. Terutama ketika Qanun No 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak memasukkan KEL dalam nomenklatur kawasan lindung. RTRWA juga tidak mengakomodasi ruang kelola hutan yang menjadi hak komunal atau hak ulayat masyarakat mukim Aceh, bahkan RTRWA tidak mencantumkan jalur evakuasi bencana. Padahal dengan himpitan pegunungan dan struktur tanah yang labil, Aceh adalah kawasan yang selalu dibayang-bayangi teror bencana. Bau busuk pun menguap dari tubuh pemerintahan Aceh tentang rencana pembangunan industri ekstraktif yang secara nyata hanya menggemukkan segelintir elit pengusaha dan pejabat. Naasnya, masyarakat Aceh dijadikan tumbal atas proyek egoisme tersebut.
Warga Aceh pun geram. Mereka yang terancam bersatu dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menuntut pembatalan Qanun Nomor 19 Tahun 2013 terkait RTRW Aceh yang tidak memasukkan beberapa substansi penting dalam RTRW nasional. Meskipun pada tahun 2014 Kementerian Dalam Negeri telah memberikan evaluasi mengenai perubahan dan penyempurnaan RTRW Aceh tersebut, akan tetapi oleh Gubernur dan DPRA diabaikan. Hal ini melanggar ketentuan pasal 14 ayat 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008.
Setelah gagal melakukan pendekatan “hati ke hati” kepada pemerintah, GeRAM pun mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register perkara 33/PDT.G/2016/PN.JKT.PST terkait Qanun 2013 pada 21 Januari 2016. Setelah melewati beberapa kali persidangan, gugatan atas perlawanan terhadap hukum yang ditujukan kepada Mendagri, Gubernur Aceh dan DPRA telah memasuki tahap putusan sela.
Konservasi, Bukan Deforestasi
Sebagai salah satu wilayah konservasi paling penting di dunia, KEL adalah sabuk pengaman terakhir bagi Sumatera setelah Riau, Jambi dan provinsi lainnya rusak parah akibat perambahan hutan. Apabila terjadi tsunami, KEL adalah satu-satunya benteng yang memecah gelombang air laut agar tak sampai menyapu korban jiwa—setidaknya meminimalisir jumlah korban bencana. Jika hujan melanda, KEL adalah “tadah” air terbaik agar tumpahan air tak sampai menimbulkan banjir. Begitupun di musim kemarau, KEL adalah “galon” yang menyimpan cadangan air bagi lebih dari 4 juta masyarakat di sekitarnya. Dengan 100.000 hektar lahan gambut, KEL adalah “paru-paru” yang mengkonversi karbondioksida menjadi oksigen. KEL juga menjadi tempat perlindungan terbesar dari hutan hujan Malesian dan disebut-sebut sebagai tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas yang cukup bagi keberlangsungan spesies-spesies langka seperti Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera, dan macan tutul.

www.lonelyplanet.com
Dengan keanekaragaman hayati serta flora-fauna yang ada, KEL memiliki daya tarik khusus untuk dikembangkan menjadi wahana ekowisata. Potensi ekonomi tanpa pembukaan lahan dan pengrusakan hutan juga masih mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti madu di Rawa Singkil. Potensi lain yang tak kalah menggiurkan adalah pengembangan industri kelautan di kawasan laut antara Singkil dan Pulau Banyak. Menurut salah satu sumber, potensi ikan di wilayah tersebut mencapai 45.000 ton per tahun dengan nilai ekonomi sebesar Rp 135 miliar (Couts, pers. Kom., 1995 dalam YLI, 1996).
Namun potensi-potensi itu hanya mungkin dikembangkan apabila kelestarian alam di KEL terjaga. Dan dengan dikeluarkannya KEL dari Kawasan Strategis Nasional, harapan untuk mencecap manisnya potensi tersebut semakin jauh panggang dari api. Bahkan berbagai bencana telah menanti di depan “rumah” dengan ragam kerugian materil maupun non-materil.
Hasil survei yang dilakukan Unit Manajemen Leuser pada tahun 1998 menunjukkan sekitar 18.000 hektar lahan irigasi di sekitar KEL mengalami kekurangan air dan menyebabkan kerugian hampir 300 miliar (meliputi infrastruktur irigasi, biaya pencetakan sawah, dan kehilangan produksi pertanian). Sebaliknya di musim penghujan, banjir yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara pada awal tahun 1996 telah menyebabkan 5.200 rumah hanyut, 100 km jalan rusak, 16.000 ha sawah hancur, dan 15 orang meninggal dengan total kerugian mencapai US$ 63 juta (Waspada, 1996, Analisa, 1996). Di tahun 2000, banjir kembali menerjang Aceh dengan total kerugian mencapai 900 miliar (Serambi Indonesia,, November 2000). Terakhir, di sepanjang tahun 2015, banjir terjadi sebanyak 16 kali di 27 kecamatan di Lhokseumawe. Tentu bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang ditanggung Aceh “hanya” selama tahun 2015 saja.

www.mongabay.co.id
Pertanyaannya, akankah pendapatan daerah dari ekspansi perkebunan sawit dan aktivitas penebangan kayu mampu menambal semua kerugian itu? Sebandingkah dengan hilangnya ragam keanekaragaman hayati yang tak tergantikan di dunia?
Van Beukering dan Cesar (2001) melakukan perhitungan terhadap Nilai Ekonomi Total (NET) Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) melalui dua perbandingan, yaitu konservasi dan deforestasi. Hasilnya, NET konservasi lebih tinggi dibandingkan NET deforestasi, dengan selisih sekitar Rp 54,2 triliun. Selisih tersebut dihitung berdasarkan ketersediaan suplai air, potensi perikanan, pencegahan banjir, PLTA, pariwisata, keragaman hayati, penyerapan karbon, pencegahan kebakaran dan hasil hutan non-kayu. Meskipun dalam perhitungan tersebut menyebutkan bahwa dalam 7 tahun pertama deforestasi lebih menguntungkan, akan tetapi untuk selanjutnya konservasilah yang lebih menguntungkan bagi KEL.
Dengan keutuhan dan keunikan ragam hayati yang ada, KEL juga sangat mungkin mendatangkan investor asing di bidang konservasi. Tidak seperti investasi di bidang lain yang menerapkan prinsip pinjaman dengan bunga yang kian hari kian mencekik, investasi di bidang konservasi ini umumnya bersifat hibah sehingga bisa mendatangkan keuntungan yang lebih optimal.
Semua kelebihan ini semestinya menjadi penghapus stigma negatif pemerintah mengenai konservasi sebagai ancaman bagi keberlangsungan pembangunan. Sebaliknya, konservasi menjadi modal utama bagi pembangunan berkelanjutan yang selama ini hanya menjadi “tong tanpa isi”. Dan dengan kondisi Aceh yang sangat rentan terhadap bencana, konservasi adalah pilihan terakhir. Kecuali jika kita masih tegar mengulang tragedi tsunami Aceh dan penasaran dengan tragedi yang jauh lebih ekstrim lagi.
Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.
Belajar dari kasus TNGL dan SM Rawa Singkil, Pemerintah Aceh juga harus memperkuat kriteria keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) dengan memperjelas peraturan daerah mengenai: (1) tata cara penetapan keberadaaan MHA, (2) hak-hak dan kewajiban MHA, (3) tugas dan wewenang pemerintah dalam mengakui, menetapkan dan membina penguatan fungsi hutan berdasarkan RTRW, (4) fungsi negara dalam pengurusan hutan yang ada pada wialyah hutan adat, (5) merealisasikan keputusan MK dengan benar, (6) batasan kewenangan masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan, serta (7) batasan kewenangan masyarakat dalam mengalihkan/menyewakan hutan adat kepada pihak lain atau mengalihkannya menjadi non-hutan (www.jkma-aceh.org).
Apabila pemerintah telah mengabulkan poin-poin penting tadi dan semua pihak telah melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik, saya yakin KEL bisa terselamatkan dan Sumatera yang bertumpu kepadanya pun demikian. Semua hanya soal coret-mencoret di atas kertas. Hanya saja, coret untuk merusak, atau coret untuk menyelamatkan? Semua tergantung tangan “yang berkuasa”.
Saya jadi ingat kata-kata Bung Faisal, salah satu warga Aceh Tamiang yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Katanya, “Sebenarnya ketika pemerintah ingin menyelamatkan hutan, bisa segera diselamatkan. Tapi apakah pemerintah punya keinginan atau tidak?”

Referensi:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setangkup Mimpi Bersama Mama

Mama dulu bermimpi, menyaksikan anak Mama berdiri di atas panggung sambil memegang piala.  Lalu Mama diminta untuk berdiri di samping anak Mama disambut riuh tepuk tangan orang banyak. Wah, pasti bangga sekali memiliki anak yang berprestasi. Pernyataan itu begitu menusuk hatiku. Betapa aku telah gagal mewujudkan impian sederhana Mama. Bukan berarti aku tidak mencoba untuk mewujudkannya. Namun setiap kali mencoba, aku selalu gagal. Bahkan hingga lulus SMA, belum ada satupun piala yang berhasil aku bawa pulang. Akankah aku menyerah? Tentu saja tidak. Justru pernyataan itu menamparku untuk berusaha lebih keras lagi. Aku mengikuti beragam lomba menulis dan beberapa kali memenangkannya. Sayang, tidak ada awarding ceremony sehingga impian untuk berdiri sambil memegang piala di hadapan banyak orang masih belum terwujud. Hingga suatu ketika, aku mendapat telepon dari panitia lomba untuk menghadiri acara penganugerahan pemenang lomba blog di Jakarta. Seketika perasaanku membumbung tinggi

Dedikasi 60 Tahun Astra, Inspirasi Keberlanjutan Menuju Kebanggaan Bangsa

Menjejaki usia 60 tahun bagi sebuah bisnis bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak perusahaan mampu selamat dari badai krisis bersejarah 1998 yang membangkrutkan perekonomian nasional. Satu dari sedikit bisnis yang mampu bertahan itu adalah Astra. Meski tertatih, Astra membuktikan diri bangkit dan berkembang pesat hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan terbaik regional dalam kurun waktu kurang dari 60 tahun. Dari hanya memiliki empat karyawan, kini jumlah karyawan Astra telah membengkak hingga 221.046 yang bekerja di 198 perusahaan Grup Astra. Aktivitas bisnis Grup Astra pun berkembang pesat meliputi enam lini bisnis, yaitu otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan agribisnis, infrastruktur, logistik serta teknologi informasi. Pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kemapanan finansial yang baik membuat Astra lebih tangguh menghadapi badai-badai selanjutnya, termasuk tantangan melemahnya perekonomian global sepanjang tahun 2015 lalu. Astra bahkan masih sangg

Jejak Perjuangan Fatmawati, Sang Perajut NKRI #FatmawatiPerajutNegeri #PahlawanBengkulu

Rumah panggung yang terletak di Jalan Fatmawati Nomor 10 Kota Bengkulu itu tampak lengang seperti biasanya. Hanya petugas dan sesekali pengunjung yang bertandang ke bangunan tua nan asri tersebut. Gurat sejarah yang terukir di sudut-sudut ruangan seolah gagal membangkitkan minat masyarakat untuk menggali lebih dalam sosok ibu negara pertama ( first lady -nya) Indonesia tersebut. Padahal seperti pejuang lainnya, Fatmawati memiliki peran penting dalam proses kelahiran bangsa Indonesia. Maka dari itu, menjelang hari pahlawan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengenal lebih jauh sosok Fatmawati sebagai salah satu pahlawan nasional wanita di Indonesia. Merajut Cinta dan Asa untuk Indonesia Bersama Bung Karno Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Fatmawati menyusul sang suami ke Jakarta dan bergabung bersama para pejuang lainnya untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bersama sang suami, Fatmawati kerapkali mengeluarkan pendapatnya mengenai langkah-l