wisata-nusantara-indonesia.blogspot.com |
Tangkahan
adalah salah satu kunci keberhasilan konservasi hutan di Sumatera, sebab keberadaannya
sebagai pintu gerbang menuju kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Akan
tetapi bukannya menjadi penopang, Tangkahan justru menjadi “hama” yang merusak niat
baik pemerintah, dimana banyak masyarakat lokal melakukan kegiatan illegal logging. Sebaliknya bagi
masyarakat, keberadaan taman nasional menjadi “jurang” yang memutus rantai
perekonomian mereka. Klaim tanah negara atas TNGL telah membabat habis hak-hak rakyat
atas hutan yang telah secara turun temurun dikelola oleh masyarakat lokal. Anehnya,
perkebunan sawit yang nyata menjadi “lintah” bagi cadangan air tanah serta “jalan
tol” bagi banjir dan tanah longsor justru tumbuh subur di kawasan yang konon
merupakan areal konservasi tersebut. TNGL pun tidak lagi menjadi “jantung” yang
memompa kehidupan masyarakat sekitar, melainkan “kanker” yang mematikan kehidupan
mereka selangkah demi selangkah, akan tetapi pasti.
Kritik
pun mengudara dari berbagai penjuru, membuat pemerintah terdesak. Pada tahun
2008, Menteri Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor
P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa sebagai jembatan yang menghubungkan
kepentingan pemerintah (konservasi) dengan kepentingan masyarakat lokal (ekonomi).
Melalui peraturan ini, pemerintah memberikan tanggung jawab kepada masyarakat
setempat untuk mengelola hutan sesuai kearifan lokal masing-masing
daerah—dengan tanpa mengesampingkan aspek konservatif. Maka dikembangkanlah ekowisata
di areal kawasan TNGL yang kemudian diberi nama Kawasan Ekowisata Tangkahan
(KET). Bersama tujuh ekor gajah Sumatera terlatih, para mantan illegal
loggers direkrut oleh Balai Besar TNGL untuk menjadi pemandu wisata
sekaligus patroli di KET demi menghindari pembalakan liar. Di sinilah kepentingan
ekonomi dan konservasi berjalan beriringan.
webberita.net |
“Kini,
hutan TNGL, dekat Tangkahan menjadi salah satu kawasan aman dari gangguan. Balok-balok
kayu belumut di dalam hutan menunjukkan telah terjadi illegal logging beberapa tahun lalu namun kini sudah berhenti.
Masyarakat lokal merasakan langsung bahwa ternyata yang dijual dari taman
nasional bukan hanya kayu. Justru jasa lingkungan berupa jernihnya aliran
sungai berkelok di alam hutan, bebatuan, lumut, liana, terjalnya bebatuan
jungle trek, air terjun, arung jeram, ceruk air panas, memotret dan mengamati
mekarnya Raffllesia atjehensis, wisata patroli gajah, dan sebagainya, menjadi
modal dasar yang menggemakan nama Tangkahan ke dunia luar. Mereka mendapatkan
manfaat langsung dari pengembangan wisata minat khusus ini. Tentu saja pendampingan
pengembangan mereka oleh Indecon, TNGL, dan mitra lainnya sangat menentukan
penguatan kelembagaan masyaakat lokal ini menjadi lembaga pengelola ekowisata
yang cukup handal. Tangkahan telah menjadi icon baru di dunia ekowisata Leuser,
nasional, dan internasional. Mulai menyaingi Bahorok/Bukit Lawang. Hutan TNGL
di Tangkahan telah diposisikan sebagai “Bank”, modal pokok yang berupa hutan
perawan, sungai, air terjun, kayu-kayuan, berbagai fenomena alam, flora dan
fauna yang tidak diambil, tidak diganggu, sementara jasa lingkungannya justru dapat
dimanfaatkan secara terbatas tetapi memberi kesempatan langsung. Ekonomi lokal mulai
digerakkan oleh jasa lingkungan dan bukan bisnis kayu. Patut dicatat, Tangkahan
dapat terwujud setelah upaya lebih dari 5 tahun yang secara konsisten dilakukan
baik oleh masyarakat maupun Balai TNGL dan mitra.”
(tulisan
Mantan Kepala TNGL tentang ekowisata Tangkahan dalam memperingati seperempat
abad TNGL)
Dengan
mengakui hak dan kepentingan masyarakat lokal, rasa tangggung jawab pun muncul sehingga
masyarakat tak lagi menjadi “hama” bagi kepentingan konservasi, melainkan
“pupuk” yang menyuburkan niat baik pemerintah. Kearifan masyarakat tidak hanya
mampu memberikan sumbangan perekonomian masyarakat setempat, namun sekaligus memberi
harapan bagi terjaganya kelestarian hutan dan populasi gajah.
Namun
kisah pahit berujung manis TNGL tidak banyak memberikan pelajaran bagi Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) lainnya. Nyatanya, Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang
merupakan hutan rawa gambut terbesar di Propinsi Aceh dirambah secara massif
untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Penyebabnya ada dua, yakni tidak
jelasnya tapal batas di lapangan dan pembukaan jalan yang membelah kawasan konservasi
tersebut.
diliputnews.com |
Adalah
Bulohseuma, sebuah enclave atau pemukiman di tengah hutan konservasi SM
Rawa Singkil yang selama ratusan tahun terisolir tanpa jalan dan tanpa aliran listrik.
Orang Bulohseuma terbiasa mengandalkan kapal boat yang membelah punggung
Samudra Hindia untuk membawa barang-barang masuk dari luar daerah. Meski jauh
dari riuh panggung musik, namun masyarakat Bulohseuma cukup terhibur oleh suara
kicauan burung dan desiran angin di sela pepohonan bak rubek (pohon
tualang). Sebuah pohon berukuran besar tempat unoe itam (lebah)
bersarang. Unoe itam inilah yang menggerakkan perekonomian masyarakat melalui
ie unoe (madu). Kurang lebih 600 ton ie unoe bisa dipanen
masyarakat pada musim panen raya di antara bulan Agustus dan September. Ie
unoe adalah alasan bagi masyarakat Bulohseuma menjaga kelestarian hutan.
Tidak
hanya madu, SM Rawa Singkil juga memberikan hasil alam lainnya berupa lele rawa
dan gabus yang konon memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebagai timbal balik, masyarakat
diwajibkan menanam Bak Nga, pohon
berakar serabut tempat ikan bertelur agar lele terus ada sepanjang tahun.
Pohon-pohon inilah yang menjadi bukti kepemilikan hutan adat (hak ulayat)
masyarakat Bulohseuma.
Selain
dampak ekonomi, SM Rawa Singkil juga memberikan manfaat ekologis bagi masyarakat
Bulohseuma dan sekitarnya, terutama pasokan air tawar dan oksigen. Lebih dari
itu, SM Rawa Singkil menyimpan keanekaragaman hayati dan menjadi rumah bagi
satwa yang keberadaannya terancam punah, salah satunya orangutan. Sebanyak 46%
dari spesies burung di Sumatera juga tinggal di sini, dimana sebagian di
antaranya merupakan jenis burung langka, seperti bangau stormi dan mentok
rimba.
Namun
semenjak dibukanya jalan yang menerobos kawasan hutan rawa gambut menuju
Bulohseuma, “wajah” SM Rawa Singkil berangsur suram dan pucat. Banyak
masyarakat lokal berlomba-lomba “menghabisi” pepohonan di sepanjang jalan
tersebut untuk areal pemukiman. Para pengusaha dan pejabat pemerintah pun tak
kalah beringas “menodai” keperawanan SM Rawa Singkil dengan melakukan ekspansi
perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
www.mongabay.co.id |
Rawa
Singkil pun “murka”. Bagi warga Bulohseuma, banyak unoe itam tak lagi sudi menempati bak rubek. Walhasil panen ie
unoe pun semakin berkurang tahun demi tahun. Demi menyelamatkan ie unoe, masyarakat Bulohseuma pun
memperketat penerapan hukum adat untuk melindungi hutan termasuk bak rubek tempat unoe itam bersarang. Masyarakat dilarang membuka hutan atau
menebang pohon dalam radius dua kilometer dari bak rubek. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi adat berupa satu
hidangan nasi pulut dan satu kambing serta wajib mengadakan peusijuk (kenduri adat).
Dengan
penegakan hukum adat tersebut, masyarakat berharap SM Rawa Singkil tetap lestari
sehingga bisa memberikan ie unoe yang
merupakan penghasilan utama masyarakat Bulohseuma.
Akan
tetapi harapan tersebut agaknya akan menjadi “anak panah” tanpa “busur”. Terutama
ketika Qanun No 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak
memasukkan KEL dalam nomenklatur kawasan lindung. RTRWA juga tidak mengakomodasi
ruang kelola hutan yang menjadi hak komunal atau hak ulayat masyarakat mukim Aceh,
bahkan RTRWA tidak mencantumkan jalur evakuasi bencana. Padahal dengan himpitan
pegunungan dan struktur tanah yang labil, Aceh adalah kawasan yang selalu dibayang-bayangi
teror bencana. Bau busuk pun menguap dari tubuh pemerintahan Aceh tentang rencana
pembangunan industri ekstraktif yang secara nyata hanya menggemukkan segelintir
elit pengusaha dan pejabat. Naasnya, masyarakat Aceh dijadikan tumbal atas
proyek egoisme tersebut.
Warga
Aceh pun geram. Mereka yang terancam bersatu dalam Gerakan Rakyat Aceh
Menggugat (GeRAM) menuntut pembatalan Qanun Nomor 19 Tahun 2013 terkait RTRW Aceh
yang tidak memasukkan beberapa substansi penting dalam RTRW nasional. Meskipun
pada tahun 2014 Kementerian Dalam Negeri telah memberikan evaluasi mengenai
perubahan dan penyempurnaan RTRW Aceh tersebut, akan tetapi oleh Gubernur dan
DPRA diabaikan. Hal ini melanggar ketentuan pasal 14 ayat 4 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008.
Setelah
gagal melakukan pendekatan “hati ke hati” kepada pemerintah, GeRAM pun mendaftarkan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register perkara
33/PDT.G/2016/PN.JKT.PST terkait Qanun 2013 pada 21 Januari 2016. Setelah
melewati beberapa kali persidangan, gugatan atas perlawanan terhadap hukum yang
ditujukan kepada Mendagri, Gubernur Aceh dan DPRA telah memasuki tahap putusan
sela.
Konservasi, Bukan Deforestasi
Sebagai
salah satu wilayah konservasi paling penting di dunia, KEL adalah sabuk
pengaman terakhir bagi Sumatera setelah Riau, Jambi dan provinsi lainnya rusak
parah akibat perambahan hutan. Apabila terjadi tsunami, KEL adalah satu-satunya
benteng yang memecah gelombang air laut agar tak sampai menyapu korban
jiwa—setidaknya meminimalisir jumlah korban bencana. Jika hujan melanda, KEL
adalah “tadah” air terbaik agar tumpahan air tak sampai menimbulkan banjir. Begitupun
di musim kemarau, KEL adalah “galon” yang menyimpan cadangan air bagi lebih
dari 4 juta masyarakat di sekitarnya. Dengan 100.000 hektar lahan gambut, KEL
adalah “paru-paru” yang mengkonversi karbondioksida menjadi oksigen. KEL juga menjadi
tempat perlindungan terbesar dari hutan hujan Malesian dan disebut-sebut
sebagai tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas yang
cukup bagi keberlangsungan spesies-spesies langka seperti Harimau Sumatera, Orangutan
Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera, dan macan tutul.
www.lonelyplanet.com |
Dengan
keanekaragaman hayati serta flora-fauna yang ada, KEL memiliki daya tarik khusus
untuk dikembangkan menjadi wahana ekowisata. Potensi ekonomi tanpa pembukaan
lahan dan pengrusakan hutan juga masih mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan
hasil hutan non-kayu seperti madu di Rawa Singkil. Potensi lain yang tak kalah
menggiurkan adalah pengembangan industri kelautan di kawasan laut antara
Singkil dan Pulau Banyak. Menurut salah satu sumber, potensi ikan di wilayah
tersebut mencapai 45.000 ton per tahun dengan nilai ekonomi sebesar Rp 135
miliar (Couts, pers. Kom., 1995 dalam YLI, 1996).
Namun
potensi-potensi itu hanya mungkin dikembangkan apabila kelestarian alam di KEL terjaga.
Dan dengan dikeluarkannya KEL dari Kawasan Strategis Nasional, harapan untuk
mencecap manisnya potensi tersebut semakin jauh panggang dari api. Bahkan
berbagai bencana telah menanti di depan “rumah” dengan ragam kerugian materil
maupun non-materil.
Hasil
survei yang dilakukan Unit Manajemen Leuser pada tahun 1998 menunjukkan sekitar
18.000 hektar lahan irigasi di sekitar KEL mengalami kekurangan air dan
menyebabkan kerugian hampir 300 miliar (meliputi infrastruktur irigasi, biaya
pencetakan sawah, dan kehilangan produksi pertanian). Sebaliknya di musim
penghujan, banjir yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara pada awal
tahun 1996 telah menyebabkan 5.200 rumah hanyut, 100 km jalan rusak, 16.000 ha
sawah hancur, dan 15 orang meninggal dengan total kerugian mencapai US$ 63 juta
(Waspada, 1996, Analisa, 1996). Di tahun 2000, banjir kembali menerjang Aceh
dengan total kerugian mencapai 900 miliar (Serambi Indonesia,, November 2000). Terakhir,
di sepanjang tahun 2015, banjir terjadi sebanyak 16 kali di 27 kecamatan di
Lhokseumawe. Tentu bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang ditanggung Aceh
“hanya” selama tahun 2015 saja.
www.mongabay.co.id |
Pertanyaannya,
akankah pendapatan daerah dari ekspansi perkebunan sawit dan aktivitas
penebangan kayu mampu menambal semua kerugian itu? Sebandingkah dengan
hilangnya ragam keanekaragaman hayati yang tak tergantikan di dunia?
Van
Beukering dan Cesar (2001) melakukan perhitungan terhadap Nilai Ekonomi Total
(NET) Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) melalui dua perbandingan, yaitu konservasi
dan deforestasi. Hasilnya, NET konservasi lebih tinggi dibandingkan NET
deforestasi, dengan selisih sekitar Rp 54,2 triliun. Selisih tersebut dihitung
berdasarkan ketersediaan suplai air, potensi perikanan, pencegahan banjir,
PLTA, pariwisata, keragaman hayati, penyerapan karbon, pencegahan kebakaran dan
hasil hutan non-kayu. Meskipun dalam perhitungan tersebut menyebutkan bahwa
dalam 7 tahun pertama deforestasi lebih menguntungkan, akan tetapi untuk
selanjutnya konservasilah yang lebih menguntungkan bagi KEL.
Dengan
keutuhan dan keunikan ragam hayati yang ada, KEL juga sangat mungkin
mendatangkan investor asing di bidang konservasi. Tidak seperti investasi di
bidang lain yang menerapkan prinsip pinjaman dengan bunga yang kian hari kian
mencekik, investasi di bidang konservasi ini umumnya bersifat hibah sehingga bisa
mendatangkan keuntungan yang lebih optimal.
Semua
kelebihan ini semestinya menjadi penghapus stigma negatif pemerintah mengenai konservasi
sebagai ancaman bagi keberlangsungan pembangunan. Sebaliknya, konservasi menjadi
modal utama bagi pembangunan berkelanjutan yang selama ini hanya menjadi “tong
tanpa isi”. Dan dengan kondisi Aceh yang sangat rentan terhadap bencana, konservasi
adalah pilihan terakhir. Kecuali jika kita masih tegar mengulang tragedi
tsunami Aceh dan penasaran dengan tragedi yang jauh lebih ekstrim lagi.
Mengingat
pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah
seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin
keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah
mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus
ditempuh dengan tetap memasukannya dalam perencanaan ruang, serta tidak
menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.
Belajar
dari kasus TNGL dan SM Rawa Singkil, Pemerintah Aceh juga harus memperkuat kriteria
keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) dengan memperjelas peraturan daerah mengenai:
(1) tata cara penetapan keberadaaan MHA, (2) hak-hak dan kewajiban MHA, (3)
tugas dan wewenang pemerintah dalam mengakui, menetapkan dan membina penguatan
fungsi hutan berdasarkan RTRW, (4) fungsi negara dalam pengurusan hutan yang
ada pada wialyah hutan adat, (5) merealisasikan keputusan MK dengan benar, (6)
batasan kewenangan masyarakat hukum adat dalam mengelola hutan, serta (7)
batasan kewenangan masyarakat dalam mengalihkan/menyewakan hutan adat kepada
pihak lain atau mengalihkannya menjadi non-hutan (www.jkma-aceh.org).
Apabila
pemerintah telah mengabulkan poin-poin penting tadi dan semua pihak telah melaksanakan
hak dan kewajibannya dengan baik, saya yakin KEL bisa terselamatkan dan
Sumatera yang bertumpu kepadanya pun demikian. Semua hanya soal coret-mencoret
di atas kertas. Hanya saja, coret untuk merusak, atau coret untuk
menyelamatkan? Semua tergantung tangan “yang berkuasa”.
Saya
jadi ingat kata-kata Bung Faisal, salah satu warga Aceh Tamiang yang tergabung
dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Katanya, “Sebenarnya ketika
pemerintah ingin menyelamatkan hutan, bisa segera diselamatkan. Tapi apakah
pemerintah punya keinginan atau tidak?”
Referensi:
http://www.jkma-aceh.org/hutan-adat-dalam-tata-ruang-aceh/.
Diakses 3 September 2016.
http://repository.unimal.ac.id/1546/1/(3)%20Leuser%20dan%20Egoisme%20-%20Kompas.pdf.
Diakses 28 Agustus 2016.
http://www.orangutancentre.org/wp-content/uploads/bagian%202a.pdf.
Diakses 26 Agustus 2016.
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5853/4518.
Diakses 26 Agustus 2016.
http://www.orangutancentre.org/wp-content/uploads/bagian%206a.pdf.
Diakses 26 Agustus 2016.
http://www.lintasnasional.com/2016/08/23/sidang-gugatan-geram-saksi-fakta-qanun-rtrw-aceh-bertentangan-dengan-uupa/.
Diakses 25 Agustus 2016.
http://www.lintasnasional.com/2016/08/16/gerakan-rakyat-aceh-menggugat-hadirkan-saksi-fakta-di-sidang-gugatan-mendagri/.
Diakses 25 Agustus 2016.
http://www.mongabay.co.id/2016/01/20/manusia-dan-alam-terancam-warga-gugat-rtrw-aceh-ke-pn-jakpus/.
Diakses 25 Agustus 2016.
http://www.mongabay.co.id/2014/06/20/rudi-putra-kami-akan-terus-berjuang-menjaga-leuser/.
Diakses 25 Agustus 2016.
http://www.neraca.co.id/article/73633/hal-ini-yang-tidak-diakomodasi-rtrw-aceh-soal-kawasan-ekonomi-leuser.
Diakses 25 Agustus 2016.
http://ekosistemleuser.blogspot.co.id/2016/08/sayembara-blog-mengenai-konservasi_24.html.
Diakses 25 Agustus 2016.
Komentar
Posting Komentar