www.terbaik-indonesia.com |
“SIM,
STNK, sudah?” absen Bapak sesaat melihatku keluar sambil menyangking helm butut
berlabel SNI.
Aku
tersenyum. “Sudah, Pak.”
“Bagus.
Ada polisi ataupun tidak, kalau sudah lengkap ‘kan tenang,” ujar Bapak sembari
menyeruput kopi hitamnya.
“Kamu
lihat Si Ipung, hidupnya selalu gelisah karena tidak memiliki SIM. Sudah
seperti teroris saja dia, selalu menghindar dari aparat penegak hukum. Setiap berangkat dan pulang kerja, dia harus
menyusup ke jalan-jalan pedesaan supaya tidak berpapasan polisi.”
Bapak
menggeleng perlahan. “Apapun bentuknya, perbuatan dosa memang selalu membikin
hidup seseorang tidak tenang.” Lantas kembali menyeruput kopi hitamnya.
Aku
mengangguk.
Awalnya
terdengar sedikit berlebihan untukku. Kenapa sih harus membawa SIM dan STNK segala? Toh aku berangkat pagi-pagi sekali dan pulang menjelang Maghrib, tidak
mungkin ‘kan polisi menggelar razia di jam-jam non aktif seperti itu? Memangnya
polisi tidak shalat, sampai-sampai Maghrib masih menggelar razia segala? Kalau
sampai iya, terlalu!
Ketika
kutanyakan mengenai sikap Bapak yang sedikit berlebihan itu, dengan bijak
beliau menjawab, “Tidak ada Islam tanpa berjamaah, tidak ada jamaah tanpa ada
kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan. Bukankah Allah
menyuruh kita untuk taat kepada ulil amri?”
Dengan
wajah mirip orang kepedasan, kupertontonkan deretan gigiku yang kuning kepada
Bapak. Kalau sudah menyangkut ayat-ayat Tuhan, aku no coment saja lah. Tidak
berani menentang. Lagipula Bapak juga ulil amri di keluarga kami, dan sebagai
anak aku wajib taat terhadap perintahnya. Meskipun mula-mula risih karena
setiap pagi beliau mengabsen kelengkapan berkendaraku, tetapi semakin lama
perasaan risih itu tidak terasa lagi karena sudah menjadi kebiasaan.
“Lagipula
sama sekali tidak merepotkan. Hanya ditaruh di jok atau diselipkan di dompet
‘kan beres,” lanjut beliau. “Kalau STNK dan SIM sebanding dengan beras lima
kilogram, baru Bapak keberatan,” canda Bapak sambil menekankan kata
‘keberatan’, lalu memancing tawaku.
Berbeda
kepala, berbeda pula prinsip yang dimiliki seorang individu. Jika Bapak melihat
kelengkapan berkendara sebagai wujud ketaatan terhadap perintah-Nya, maka Ibu
menimbangnya dari segi ekonomis. Ya, maklumlah, namanya juga ibu-ibu rumah
tangga. Segala hal harus diperhitungkan laba ruginya.
Kata
beliau, “Sayang duit kalau sampai terkena tilang polisi. Tidak bawa SIM bayar
250 ribu, tidak pakai helm juga bayar 250 ribu, mending untuk belanja sayur bisa
cukup untuk satu bulan.”
Celoteh
Ibu mengundang gelak tawaku. Pantas saja putrinya diminta masuk jurusan
akuntansi, supaya pintar seperti beliau rupanya. Tapi meskipun berbeda prinsip,
Bapak dan Ibu memiliki satu pelabuhan yang sama, yaitu ketaatan berkendara.
***
“Jangan
lupa berdoa, Nduk.” Pesan Bapak ketika kucium punggung tangannya yang
gosong dibakar matahari.
Sesungguhnya,
Bapak bisa berangkat ke sawah selepas Subuh supaya matahari tak menyengat
kulitnya terlalu lama. Tetapi demi mengecek kondisi ban, rantai, oli, dan
semuanya dalam kondisi baik, demi mengingatkan putrinya mengenai kelengkapan
berkendara, dan demi mendoakan keselamatan putrinya sesaat sebelum berangkat, Bapak
rela berangkat lebih siang.
“Iya,
Pak.”
Berangsur
kucium punggung tangan Ibu yang apabila kusentuh telapak tangannya terasa
kasar. Aku sadar beliau terlalu lama berbaur dengan deterjen dan sudah saatnya pensiun.
Kutawarkan sebuah mesin cuci seharga dua juta tetapi beliau menolak. Menurutnya,
daya listrik rumah kami terlalu kecil apabila ditambah mesin cuci. Lagipula,
menambah daya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Aku
mencoba memahami alasan tersebut dan sebagai alternatif, kutawarkan diri untuk
menggantikan posisi Ibu sebagai ‘mesin cuci’ di rumah. Namun lagi-lagi beliau
menolak.
Alasannya,
“Nanti berangkatnya kesiangan kalau harus mencuci pakaian segala. Kalau
kesiangan, pasti mengendarai motornya ngebut. Kalau ngebut, lalu polisi
melihat, bisa terkena denda 500 ribu . Belum lagi kalau terpaksa menyerobot
lampu merah gara-gara takut terlambat, bisa tambah denda 500 ribu. Itu sama
saja kamu kerja sosial sebulan, gaji kamu habis hanya untuk menyumbang negara.”
Aku
menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Sungguh sulit
mematahkan prinsip yang sudah mengakar kuat di dalam otak Ibu. Daripada berdebat,
lebih baik kuanggukan saja kepalaku sambil mencari celah positif dari penolakan
tersebut.
Ya,
kupikir tidak ada orang tua di belahan bumi manapun yang menginginkan anaknya
terlibat insiden di jalan raya. Dan jika aku mengebut, segala kemungkinan itu bisa
menjadi lebih besar bila dibandingkan mengendarai sepeda motor dengan kecepatan
yang wajar. Be positif saja lah!
***
Jalanan
sesak oleh tumpahan anak-anak berseragam putih abu-abu. Seperti bebek yang baru
dikeluarkan dari kandang, bocah-bocah sekolah itu berbaris dan membentuk
kelompok mereka masing-masing. Ada barisan wanita berkerudung, laki-laki
pendiam, sampai kelompok muda-mudi yang berpasang-pasangan.
Dalam
keadaan ruas jalan yang penuh dan sempit seperti ini, alarm lampu kuning harus
selalu kugenggam. Kecenderungan anak-anak sekolah yang masih labil tidak hanya tentang
perasaan mereka terhadap lawan jenis dan identitas diri, tetapi juga tentang
perilaku berkendara di jalanan umum. Mereka sangat gemar berekspresi sehingga
terkadang membahayakan pengguna jalan lain, termasuk aku.
Minggu
itu, di suatu siang yang panasnya menguapkan keimanan ke atap langit, seorang
remaja putri tengah asik memencet ponsel sambil tersenyum sipu. Entah karena
ponselnya yang baru atau pacarnya yang baru, bocah perempuan itu nekad berbalas
pesan sambil mengendarai sepeda motornya.
Aku
yang sedang kepanasan usai berbelanja di pasar sontak berbisik, “Lihat deh,
Bu. Sesibuk-sibuknya aku, sepenting-pentingnya pesan yang kuterima, tidak
pernah sampai berbalas pesan sambil mengendarai motor. Itu ‘kan bahaya.”
“Biarkan
saja, Nduk. Nanti kalau ponselnya diserobot orang, baru nangis
guling-guling.”
Barangkali
malaikat mendengar perbincangan kami sehingga tak sampai lima menit insiden tak
menyenangkan itu terjadi. Dua orang laki-laki tak dikenal menyerobot ponsel
milik si gadis dan membawanya kabur. Bocah perempuan itu berteriak ‘copet’
sehingga menarik perhatian banyak orang di sekitarnya. Beberapa mencoba mengejar
si pelaku tetapi gagal. Bocah remaja itu pun menangis sesenggukan di atas
motornya.
Ibu
cekikikan menceritakan kejadian itu kepada Bapak. Lalu Bapak menimpali, “Kalau
ada seseorang berbuat kesalahan itu semestinya ditegur, bukan malah didoakan
yang jelek-jelek.”
“Ibu
juga sudah ada niat untuk menegur, Pak. Tapi keduluan Gusti Allah.” bual Ibu
membela diri.
Bapak
menghembuskan napas pelan, lantas melemparkan pandangan ke arahku.
“Besok-besok, kalau kamu melihat seseorang berbuat kesalahan yang membahayakan
diri sendiri ataupun orang lain, tegur saja! Jangan hanya mengumpat di dalam
hati.”
“Iya,
Pak,” ikrarku kepada beliau.
Meski
sulit, aku senantiasa berusaha menepati janji itu. Pernah suatu ketika aku
dibuat kesal oleh tingkah dua remaja putra yang saling kebut-kebutan di jalan
raya. Entah demi menarik perhatian barisan remaja putri yang berada di
belakangnya atau memang dasarnya pecicilan, dua remaja itu berusaha menyalip kendaraan
satu sama lain hingga tanpa sengaja salah satu di antara mereka terserempet
motorku. Beruntung bocah laki-laki itu cukup lihai mengendalikan sepeda motornya
sehingga tak sampai jatuh.
Meski
tidak terjadi sesuatu yang fatal, tetapi aku memutuskan untuk berhenti dan menghampirinya.
“Kamu
tidak apa-apa?”
Bocah
laki-laki itu menggeleng, “Alhamdulillah, tidak apa-apa, Kak.”
“Syukurlah.”
Singkatku. “Boleh minta nomor ponsel orang tua kalian?”
Kedua
bocah remaja itu mengangkat sepasang alisnya, saling melempar pandang dan membulatkan
mata.
“Aduh,
jangan dong, Kak. Nanti orang tua
kita marah-marah, terus tidak diberi uang jajan.”
Aku
manggut-manggut. “Kalau begitu, minta nomor telepon sekolah kalian.”
“Itu
lebih bahaya lagi, Kak. Bisa-bisa kita diskors, terus nilai rapor kita C.”
Aku
mendesah. “Lucu, ya, kalian takut kehilangan uang jajan yang jumlahnya tidak
seberapa, kalian khawatir mendapatkan nilai C di rapor, tapi kalian sama sekali
tidak peduli dengan nyawa sendiri?”
Aku
menggeleng pelan. “Kalau kejadian tadi membuat kaki kalian patah, yang rugi itu
bukan orang tua atau guru, tetapi diri kalian sendiri. Mengerti?”
Kedua
bocah laki-laki itu menundukkan wajahnya. Saling melirik dan menyikut lengan
seolah menyalahkan satu sama lain.
“Kalian
berdua sama-sama salah,” tegasku sembari ngeloyor pergi.
Kalau
yang membuat ulah itu anak sekolah yang notabenenya lebih muda, aku masih bisa
menganggapnya lucu dan menggemaskan. Maka setiap kutemui remaja sok
ganteng yang ogah-ogahan memakai helm karena takut merusak gaya rambut mereka,
aku masih bisa menjewer telinga atau mencubit pipi saking gemesnya. Tetapi
bagaimana jika yang membuat kesal di jalan raya itu ibu-ibu, bapak-bapak,
kakek-kakek, nenek-nenek, atau siapapun yang lebih tua dariku? Bisa makin
keriput kulit mereka jika kucubit.
Melewati
jalur lingkar selatan yang panjang dan lebar, beragam uji keimanan dan keamanan
memang senantiasa berpapasan denganku setiap hari. Mulai dari sopir bus yang
menguasai jalan raya sehingga memaksa kendaraan lain turun ke bahu jalan, sopir
minibus yang berhenti seenaknya hingga nyaris membuat kendaraan di belakangnya
celaka, sampai pengendara motor yang menyeberang tanpa memberikan kode ke
pengguna jalan lain.
Walau
sama-sama membahayakan, kendaraan yang menyeberang atau menyalip tanpa memberikan
kode adalah yang paling sulit diantisipasi. Pernah suatu saat aku terjatuh dari
motor gara-gara bocah remaja perempuan yang tiba-tiba muncul dari gang sempit
dan masuk ke jalur yang kulalui. Beberapa waktu lalu, aku juga nyaris celaka
oleh tingkah seorang ibu berkendara motor yang menyeberang seenaknya tanpa
melihat kanan-kiri. Karena terkejut, sepeda motorku sampai oleng dan terperosok
ke bahu jalan. Beruntung aku masih bisa menyeimbangkan kembali sepeda motorku
sehingga tak sampai jatuh.
Walau
berhasil lulus dalam uji keamanan, tetapi aku gagal melewati uji keimanan. Sesaat
setelah berhasil mengendalikan sepeda motorku yang oleng, bibirku sempat
mengucap kata-kata kasar dan makian untuk ibu-ibu itu. Ya, meskipun pada
akhirnya aku sadar dan mengucap istighfar tiga kali.
****
Kikk.
Kikk. Kikk.
Aku
bebal meski si pemilik mobil tak henti-hentinya membunyikan klakson. Biar saja
dia tertahan di belakangku, lagipula aku tidak sedang berbuat salah dan menjadi
salah jika memberikan jalan untuknya. Waktu itu lampu hijau menyala dari arah
seberang dan si pemilik mobil hendak memanfaatkannya untuk menerabas lampu
merah. Tetapi aku berpura-pura bodoh dengan tetap berada dalam posisiku.
Ketika
lampu hijau menyala, si pemilik mobil mensejajarkan mobilnya dengan sepeda
motorku sambil memandang sinis, seakan-akan ekor matanya itu berkata, “Dasar, aneh.”
Sedangkan bibirnya yang manyun menghardikku, “Dasar, menyebalkan.” Daripada
melebarkan kobaran api, lebih baik kupadamkan saja nyala apinya lewat untaian
senyum manis. Si pemilik mobil pun mengernyit dan geleng-geleng kepala.
Barangkali dia menyeletuk di dalam hati, “Orang gila.” Lalu menancapkan gas dan
ngeloyor pergi begitu saja.
Aku
terbahak di dalam hati.
Ketika
kuceritakan kejadian itu kepada Bapak, beliau tersenyum.
“Salah
satu tanda akhir zaman adalah ketika kebaikan dianggap sebagai sesuatu yang
aneh. Memakai hijab yang menutupi dada dianggap aneh, shalat tepat waktu
dianggap aneh, sampai taat terhadap peraturan negara sekalipun bisa dianggap sesuatu
yang aneh,” jelasnya.
“Tetapi
sebaliknya kalau kita melakukan keburukan-keburukan. Menjadi model majalah pria
dewasa dianggap prestasi, tidak shalat karena sibuk bekerja dianggap wajar, korupsi
dianggap tren, sampai menerabas lampu merah dianggap efisiensi.”
“Itu
semua karena kecenderungan manusia menyimpulkan kebaikan sebagai sesuatu yang
banyak dilakukan orang, padahal tidak selalu seperti itu. Dalam kehidupan
beragama, kita memiliki Al Quran dan As-Sunah sebagai pembeda yang baik dan
buruk. Dalam kehidupan bernegara, kita mempunyai undang-undang sebagai pedoman
hidup yang harus ditaati.”
“Kalau
orang-orang normal masuk neraka karena tidak taat terhadap Allah, Rasul dan
ulil amri, sementara orang-orang aneh masuk surga, Bapak sih memilih
menjadi orang aneh saja,” pungkasnya mengundang gelak tawaku.
Jika
benar seseorang yang taat terhadap aturan berkendara itu orang aneh, semoga
semakin banyak orang-orang aneh di dunia ini supaya lalu lintas menjadi tertib,
aman dan selamat.
Kebumen, 26 Oktober 2015
Cerita ini kupersembahkan kepada kedua
orang tuaku; Bapak Muchron dan Ibu Sofiah yang telah mengajariku untuk selalu
taat terhadap aturan berkendara.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Komentar
Posting Komentar