Langsung ke konten utama

Keluarga Qur’ani; Kembalikan Keemasan Islam



Seperti emas dan batu.

Barangkali terkesan berlebihan, namun itu yang benar-benar terjadi. Islam di abad pertengahan ibarat emas yang menyilaukan mata, berharga dan didambakan setiap orang. Mengapa? Sebab di masa tersebut, negara-negara yang berhasil ditaklukkan Islam memiliki peradaban yang begitu maju, jauh melampaui negara-negara Barat yang kala itu masih sangat primitif dan belum tersentuh ilmu pengetahuan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu cendekiawan Barat bernama Jasques C. Reister. Ia menyatakan bahwa Islam pernah menguasai dunia selama lima ratus tahun dengan kekuatan, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi. Hal senada juga diungkapkan cendekiawan Barat lainnya bernama Montgomery Watt, seperti dikutip berikut; Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi dinamonya, Barat bukanlah apa-apa.

Bukti bahwa peradaban Islam telah memberikan sumbangsih besar dalam ilmu pengetahuan adalah lahirnya cendekiawan-cendekiawan Muslim yang melahirkan karya-karya besar di bidangnya masing-masing, seperti Al-Khwarizmi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Hayyan, Al-Idrisi, al-Maqdisi, al-Haytsam, dan lainnya. Menunjukkan betapa haus dan cintanya generasi umat Muslim terdahulu terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sebagai refleksi atas perintah Allah.

Bandingkan dengan umat Muslim sekarang yang sibuk membaca dan/atau mengomentari status-status di media sosial yang tidak ada faedahnya. Sibuk dugem, belanja, pacaran, dan kegiatan-kegiatan maksiat yang sama sekali tidak merefleksikan kandungan Al Quran. Cita-cita generasi Muslim pun bergeser ke hal-hal yang jauh dari kecintaan terhadap Allah, semisal berebut kursi idola di konten-kontes menyanyi, model, lawak, dan sebagainya.

Akibatnya, umat Islam di mata dunia hanyalah bongkahan-bongkahan batu yang berserakan di jalanan. Tidak menarik, tidak berarti, tidak didamba, bahkan tak jarang membuat luka. Luka itu ditimbulkan oleh segelitir orang yang mengatasnamakan Islam, lalu membuat kericuhan di berbagai tempat; mengancam, mengintimidasi, bahkan tak jarang membunuh dengan berbagai cara yang sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai keislaman. Kericuhan itu dilakukan oleh sekelompok oknum yang keliru dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, atau segelintir oknum yang sengaja memecah belah umat dan mencoreng citra baik Islam di mata dunia.

Buruknya, rencana itu berhasil. Islam terpecah menjadi beberapa golongan hingga muncullah istilah-istilah seperti islam fundamental, islam fanatik, islam moderat, islam liberal, dan sebagainya. Parahnya, antar golongan saling curiga dan mengkafirkan satu sama lain. Stigma buruk tentang Islam pun mengakar kuat di benak umat non-Muslim hingga timbullah gejala Islamophobia. Salah satu kasus Islamophobia yang baru-baru ini menghebohkan publik adalah ungkapan kebencian yang dilontarkan salah satu kandidat terpilih calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, berupa larangan bagi masyarakat Muslim memasuki wilayah Amerika.

Sebelumnya, seorang pelajar SMA di Amerika Serikat bernama Ahmed Mohamed juga sempat menerima perlakuan tak menyenangkan oleh gurunya sendiri. Ia diperiksa aparat kepolisian setelah dilaporkan pihak sekolah atas tuduhan membawa bom ke sekolah. Padahal, anak kreatif tersebut hanya membuat jam digital untuk tugas kelas teknik terapan.

Celakanya, tidak hanya umat non Muslim saja yang mengidap gejala Islamophobia, namun umat Muslim sekalipun mulai terserang gejala ini. Hal tersebut terlihat dari sikap menjauhi terhadap sekelompok Muslim yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang mereka pikir ciri fisik seorang teroris, semisal bercadar, berjenggot, berjilbab lebar, dan sebagainya. Lalu timbullah kekhawatiran yang berlebihan dalam diri seorang Muslim untuk mendalami Islam karena takut disangka teroris. Semisal ketika seorang wanita Muslim diajak untuk memakai hijab yang menutupi dada, kemudian si wanita tersebut menjawab, “Nggak ah, ntar disangka teroris. Lagian udah pake jilbab aja udah untung daripada enggak.” Padahal Allah berfirman di dalam surah An-Nuur, “Dan hendaknya mereka menutup kain kudung ke dadanya.”

Atau ketika seseorang mengajak untuk mengikuti kajian Al Quran atau As Sunah, lalu ia menolak dengan alasan, “Jangan terlalu dalam kalau mempelajari ilmu agama, ntar kebablasan kayak si A, terus jadi teroris.” Padahal Al Qur’an dan Sunnah-lah yang akan menyelamatkan kita dari kesalahpahaman itu (terorisme), seperti diungkapkan Rasul dalam salah satu hadisnya, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yakni Kitabullah (Al Quran) dan Sunah Rasulullah SAW.” (HR. Muslim).”

Jika umat Islam saja sudah sentimen terhadap agamanya sendiri sehingga menolak perintah Allah dan Nabi-Nya, lalu apa arti Islam untuknya? Bukankah kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah? Lantas mengapa menyangsikan kebenaran Al Qur’an dan As Sunah? Tidakkah itu perbuatan orang-orang zalim, seperti firman Allah, “Sesungguhnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzalim.” (QS Al-Ankabut: 49)

Islamophobia Hanyalah Sebuah Kesalahpahaman

Siapa yang tak mengenal sosok Arnoud Van Doorn? Produser film sekaligus pegiat anti Islam asal Belanda tersebut memutuskan mualaf setelah sebelumnya ikut ambil bagian dalam proses produksi film bernada penghinaan terhadap Nabi Muhammad berjudul Fitna. Keputusan besar itu diambil Arnoud setelah dua tahun lamanya mempelajari dan memahami Al Qur’an, Hadis, Sunah, dan berbagai ilmu mengenai Islam. Maksud hati mencari kelemahan Islam, Arnoud justru jatuh hati dan menemukan kebenaran ajaran Nabi Muhammad, sampai akhirnya memutuskan untuk menjadi pengikutnya.

Mengikuti jejak sang ayah, Iskander Amien De Vrie juga menyatakan mualaf setelah melihat sang ayah menjadi lebih tenang dan damai usai masuk Islam. Iskander pun penasaran dan mulai mempelajari Al Qur’an, sampai akhirnya mantap masuk Islam.

www.bestrightway.com
Apa yang dialami oleh Arnoud dan putranya adalah bukti bahwa (dengan izin Allah) kebenaran Al Qur’an mampu mengubah kebencian menjadi kecintaan. Bahwa stigma negatif yang selama ini terdengar mengenai Islam adalah sebuah fitnah keji yang sama sekali tidak benar. Dan kekejian yang dilakukan oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam hanyalah sebuah kesalahpahaman dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an.

Sayangnya, tidak setiap pengidap Islamophobia mau menelaah secara mendalam ayat-ayat suci Al Qur’an. Mereka hanya menyimpulkan dari apa yang didengar dan diberitakan oleh media-media di dunia. Parahnya, umat Islam sendiri tidak mampu menyelamatkan agamanya dari fitnah keji itu. Mereka sekadar mengelak dengan nada marah, ikut membenci, bahkan membalas ketidaksukaan umat non Muslim dengan cara yang tidak baik. Padahal sikap-sikap tersebut sama sekali tidak menguntungkan bagi diri mereka sendiri, tidak menguntungkan bagi agamanya (Islam), bahkan semakin memperkeruh suasana yang sebenarnya sudah sangat keruh ini.

Cetak Profil-Profil Qur’ani, Kembalikan Keemasan Islam

Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Islam (dari fitnah keji itu), selain dengan menunjukkan kebenaran ajaran-ajaran-Nya yang terkandung di dalam Al Qur’an. Tidak pula untuk melindungi diri dari pengaruh paham fanatisme dan radikalisme yang memicu aksi-aksi terorisme, hedonisme dan konsumerisme yang menyeret ke dalam lubang kemaksiatan, dan berbagai penyimpangan moral lainnya, selain membekali diri dengan Al Qur’an dan As Sunah.

Generasi Shahabat adalah contoh generasi terbaik umat Islam yang bernaung di bawah Al Qur’an. Merekalah generasi paling mulia yang berhasil membebaskan Makkah dari peradaban jahiliyah dan mengubahnya menjadi pusat peradaban tauhid, yang hanya menyembah Allah Azza Wa Jalla. Meskipun saat itu generasi Shahabat hanya berjumlah 300 orang melawan seribu pasukan Qurays, namun dengan izin Allah dan semangat jihad yang tinggi, para Shahabat mampu menaklukkan Makkah, yang menjadi titik awal peradaban Islam di dunia.

Muhammad Al-Fatih, sang pencetak sejarah yang mampu menaklukkan Konstatinopel adalah anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, kecerdasan dalam kepemimpinan dan intensitas ibadah yang sangat baik. Dia selalu menghidupkan malam-malamnya dengan qiyamul lail.

Menengok sejarah keemasan Islam dan membandingkannya dengan keterpurukan era ini adalah bukti bahwa umat Islam sudah jauh dari nilai-nilai kemuliaan Al Qur’an. Mereka (umat Islam sekarang) seperti kembali kepada masa-masa sebelum Islam datang, yakni peradaban jahiliyah, dengan melandaskan hidup kepada hal-hal di luar Al-Quran (materialisme, hedonisme, konsumerisme, dll). Maka satu-satunya cara mengembalikan kegemilangan itu adalah kembali kepada dua wasiat Nabi, yakni Al Qur’an dan As Sunah.

Keluarga, Wadah Pencetak Generasi Qur’ani

Pernikahan bukan sekedar rasa cinta dua insan, tapi pilar membangun peradaban besar. Melahirkan generasi Qur’ani penerus perjuangan. Karenanya rumah harus menjadi markas dakwah, pusat perjuangan menegakkan Syariah. (Ust. Farid Wadidi: Pemimpin Redaksi Majalah Dakwah dan Politik Al-Wa’ie dan Tabloid Media Umat)

Begitu besarnya peran keluarga dalam membentuk peradaban Islam, maka setiap calon pasangan handaknya membekali diri dengan ilmu agama yang luas. Selain itu, penting juga menentukan kriteria calon pasangan terbaik sehingga mampu mencetak generasi-generasi unggul pendobrak peradaban. Sebagaimana pernyataan seorang syeikh seperti dikutip dakwatuna.com berikut; ‘Mempelajari ilmu tarbiyatul aulaad (membina anak) sejatinya bukan ketika sudah memiliki anak, namun ketika menentukan calon ibu anak yang hendak kita bina’. Karenanya, dalam proses pencarian calon istri, sebaiknya kita meninjau pesan Nabi SAW berikut;

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Utamakanlah karena agamanya, niscahya engkau beruntung.” (Muttafaq’alaih). Dalam riwayat hadis yang lain, Nabi juga berpesan, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin kecantikannya itu bisa mencelakakannya. Dan jangan kamu nikahi wanita karena hartanya, mungkin hartanya itu bisa menyombongkannya. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sesungguhnya seorang hamba sahaya yang hitam warna kulitnya tetapi beragama itu jauh lebih utama.”

Intinya, kita harus merencanakan sedini mungkin konsep keluarga seperti apa yang hendak dibangun dan kriteria pasangan seperti apa yang memenuhi harapan tersebut. Hal ini supaya apa yang dicita-citakan tercapai dan tidak ada penyesalan di kemudian hari.

www.dakwatuna.com
Wiryaningsih, ibu pencetak sepuluh anak penghafal Al Qur’an dalam sebuah Talkshow Menuju Umat Berkarakter Qur’ani Perspektif Keluarga oleh Islamic Book Fair 2013, seperti dilansir Arrahman menyatakan pentingnya sinergi antara suami dan istri dalam mendidik dan mengasuh anak. Beliau menyatakan, “Saya tidak sendiri melainkan bersama suami, maka suami-istri harus memiliki satu visi, ayah merancang GBHK/Garis Berar Haluan Keluarga dan ibu menjadi UPT/Unit Pelaksana Teknis untuk merealisasikannya.” Ia juga menambahkan pentingnya menjadikan rumah sebagai sekolah yang memiliki target, kurikulum, sistem, dan evaluasi. Intinya, suami istri harus memiliki visi yang jelas, kerjasama yang kompak, istiqomah, dan do’a.

Visi dan konsep pasangan Wiryaningsih dan suaminya, Mutammimul Ula, antara lain;

Pertama, menjadikan putra-putri seluruhnya hafal Al Qur’an.

Kedua, pembiasaan dan manajemen waktu. Setelah shalat Subuh dan Maghrib adalah waktu khusus untuk Al Qur’an. Semasa balita, Wiryaningsih konsisten membaca Al Qur’an di dekat mereka, mengajarkan, dan mendirikan TPQ di rumahnya.

Ketiga, mengkomunikasikan tujuan dan memberikan hadiah.

Demi mendukung kesuksesan konsep keluarga Qur’ani tersebut, mereka juga menerapkan berbagai kebijakan, di antaranya; menyingkirkan televisi dari rumah, tidak memasang gambar selain kaligrafi, tidak membunyikan musik-musik, dan tidak ada perkataan kotor di dalam dan luar rumah. 

www.kabarpks.com

Pada akhirnya, cita-cita mereka untuk menjadikan kesepuluh putra-putrinya hafidz dan hafidzah tercapai. Wiryaningsih pun merasakan banyak keberkahan dalam hidupnya, salah satunya memiliki putra-putri yang kesemuanya berprestasi. Hal ini sesuai janji Allah dalam firman-Nya surah Fathir ayat 29-30, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Fakta juga membuktikan bahwa kegiatan menghafal (termasuk menghafal Al Qur’an) bisa merangsang pertumbuhan sel-sel otak sehingga mempermudah proses belajar anak.

Keberkahan lain yang ia rasakan sebagai pemelihara Al Qur’an adalah kemuliaan sebagai keluarga Allah, sebagaimana sabda Rasul, “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia,’ para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka ya, Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘Para Ahli Qur’an. Mereka keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.” Yang dimaksud Ahli Qur’an di sini adalah mereka yang memelihara Al Qur’an dengan cara membaca, menghafal dan mengamalkannya.

Selain mendapat kemuliaan sebagai keluarga Allah, Ahli Qur’an juga mendapat keistimewaan lainnya yakni memiliki derajat yang sama dengan para nabi. Seperti sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang membaca (hafal) Al Qur’an, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan kepadanya.” Lebih dari itu, mereka juga mendapatkan keutamaan-keutamaan seperti sabda Rasulullah; “Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya.” (HR. Muslim). “Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud kemudian beliau bersabda, ‘Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafal Al Qur’an,’ ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat.” (HR. Bukhari)

Tidak hanya di dunia, para Ahlul Qur’an juga mendapatkan banyak keuntungan di akhirat. Baik bagi dirinya sendiri, maupun orang-orang di sekitarnya, utamanya keluarga. Seperti sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an kemudian menghafalnya, maka Allah memasukannya ke dalam surga dan ia diberi hak untuk memberi syafa’at bagi sepuluh orang anggota keluarganya, yang semuanya sudah ditetapkan masuk neraka.” (HR. Muslim). Dalam hadis riwayat lain, Rasul juga bersabda, “Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dan mengamalkan kandungannya, maka di akhirat nanti kedua orang tuanya akan dipakaikan mahkota yang cahayanya lebih indah daripada matahari yang menyinari rumah-rumah di dunia. Maka bagaimana lagi karunia mereka bagi yang mengamalkannya.” (HR. Abu Dawud).

Sayangnya, pendidikan Al Qur’an dan Sunah masih menjadi agenda ke-17,” ujar Pimpinan Daarul Qur’an, Ustaz Yusuf Mansur seperti dikutip Republika. Sebagian besar orang tua lebih mengutamakan kursus-kursus lainnya yang dianggap lebih menjanjikan bagi masa depan buah hatinya ketimbang Al Qur’an dan Sunah. Padahal begitu banyak orang hebat di dunia hanya menjadi batu yang melukai orang-orang. Seperti para pejabat yang korup, seniman yang terjerat narkoba, atau model yang merangkap pekerja seks komersial. Fakta tersebut menunjukkan bahwa menjadi ‘hebat’ saja belum cukup untuk menjamin masa depan seorang anak (dunia dan akhirat), namun membekali mereka dengan Al Qur’an dan Sunah (sebagai pedoman hidup) adalah cara terbaik untuk menyelamatkan generasi Muslim dari kehancurannya.

Mari keluarga Muslim, selamatkan generasi umat, kembalikan keemasan Islam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setangkup Mimpi Bersama Mama

Mama dulu bermimpi, menyaksikan anak Mama berdiri di atas panggung sambil memegang piala.  Lalu Mama diminta untuk berdiri di samping anak Mama disambut riuh tepuk tangan orang banyak. Wah, pasti bangga sekali memiliki anak yang berprestasi. Pernyataan itu begitu menusuk hatiku. Betapa aku telah gagal mewujudkan impian sederhana Mama. Bukan berarti aku tidak mencoba untuk mewujudkannya. Namun setiap kali mencoba, aku selalu gagal. Bahkan hingga lulus SMA, belum ada satupun piala yang berhasil aku bawa pulang. Akankah aku menyerah? Tentu saja tidak. Justru pernyataan itu menamparku untuk berusaha lebih keras lagi. Aku mengikuti beragam lomba menulis dan beberapa kali memenangkannya. Sayang, tidak ada awarding ceremony sehingga impian untuk berdiri sambil memegang piala di hadapan banyak orang masih belum terwujud. Hingga suatu ketika, aku mendapat telepon dari panitia lomba untuk menghadiri acara penganugerahan pemenang lomba blog di Jakarta. Seketika perasaanku membumbung tinggi

Dedikasi 60 Tahun Astra, Inspirasi Keberlanjutan Menuju Kebanggaan Bangsa

Menjejaki usia 60 tahun bagi sebuah bisnis bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak perusahaan mampu selamat dari badai krisis bersejarah 1998 yang membangkrutkan perekonomian nasional. Satu dari sedikit bisnis yang mampu bertahan itu adalah Astra. Meski tertatih, Astra membuktikan diri bangkit dan berkembang pesat hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan terbaik regional dalam kurun waktu kurang dari 60 tahun. Dari hanya memiliki empat karyawan, kini jumlah karyawan Astra telah membengkak hingga 221.046 yang bekerja di 198 perusahaan Grup Astra. Aktivitas bisnis Grup Astra pun berkembang pesat meliputi enam lini bisnis, yaitu otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan agribisnis, infrastruktur, logistik serta teknologi informasi. Pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kemapanan finansial yang baik membuat Astra lebih tangguh menghadapi badai-badai selanjutnya, termasuk tantangan melemahnya perekonomian global sepanjang tahun 2015 lalu. Astra bahkan masih sangg

Jejak Perjuangan Fatmawati, Sang Perajut NKRI #FatmawatiPerajutNegeri #PahlawanBengkulu

Rumah panggung yang terletak di Jalan Fatmawati Nomor 10 Kota Bengkulu itu tampak lengang seperti biasanya. Hanya petugas dan sesekali pengunjung yang bertandang ke bangunan tua nan asri tersebut. Gurat sejarah yang terukir di sudut-sudut ruangan seolah gagal membangkitkan minat masyarakat untuk menggali lebih dalam sosok ibu negara pertama ( first lady -nya) Indonesia tersebut. Padahal seperti pejuang lainnya, Fatmawati memiliki peran penting dalam proses kelahiran bangsa Indonesia. Maka dari itu, menjelang hari pahlawan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengenal lebih jauh sosok Fatmawati sebagai salah satu pahlawan nasional wanita di Indonesia. Merajut Cinta dan Asa untuk Indonesia Bersama Bung Karno Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Fatmawati menyusul sang suami ke Jakarta dan bergabung bersama para pejuang lainnya untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bersama sang suami, Fatmawati kerapkali mengeluarkan pendapatnya mengenai langkah-l