tech.dbagus.com |
Dunia
tengah mengalami serangan yang maha dahsyat. Serangan yang menyapu segala aspek
kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, hingga agama. Serangan
yang tidak untuk dihindari, melainkan dihadapi dengan strategi yang matang
supaya mampu keluar sebagai pemenang. Serangan yang kita semua menyebutnya
dengan istilah globalisasi.
Salah
satu produk globalisasi yang memiliki serangan paling menakutkan era ini adalah
media sosial. Jika tidak memiliki tujuan dan strategi yang matang untuk meraih kemaslahatan,
media sosial tak ubahnya piring kosong yang tidak ada faedahnya, bahkan
mengandung santapan-santapan racun yang membahayakan moral dan keimanan
seseorang, seperti pornografi, kejahatan dunia maya, kebencian yang berujung
konflik, perselingkuhan, dan sebagainya.
Pada
dasarnya, media sosial bersifat netral, sama seperti sebuah pisau. Ketika otak
kita memberikan perintah kepada tangan untuk membunuh, maka ia akan menjadi
alat yang sangat menyeramkan. Sebaliknya jika otak kita memerintahkan untuk memotong
bahan-bahan makanan, maka ia akan menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Supaya
tak tersesat, ada baiknya kita meninjau pesan Nabi Muhammad sebelum beliau
wafat. “Aku tinggalkan untuk kalian dua
perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yakni Kitabullah
(Al Quran) dan Sunah Rasulullah SAW.”
(HR. Muslim).” Generasi Shahabat telah membuktikan betapa hidup di bawah
naungan Al Qur’an bisa menyelamatkan manusia dari kesesatan. Bukan hanya bagi
diri sendiri, melainkan umat Islam di seluruh dunia. Sebab berkat merekalah,
Makkah terbebas dari kejahiliyahan yang menyembah berhala, menjadi hanya
menyembah Allah Azza Wa Jalla. Selain itu, pembebasan Makkah juga menjadi awal peradaban
Islam di seluruh dunia. Setelah generasi Shahabat, adalah menjadi tugas
keluarga Qur’ani, yakni keluarga yang melandaskan hidupnya di bawah naungan Al
Qur’an, untuk menyelamatkan umat Islam dari kesesatan dan kemudharatan di media
sosial, sebagai salah satu bentuk ketaatan terhadap Allah melalui jihad amar
ma’ruf nahi munkar.
Tantangan:
Media Sosial sebagai Media Ibadah
Ketika
hendak memotong bahan makanan, kita selalu diberikan pilihan; menggunakan
tangan atau pisau. Jika menggunakan tangan, hasilnya menjadi tidak rapi dan
waktu pun lebih lama, namun kita tidak perlu khawatir terluka. Sebaliknya jika
kita memilih menggunakan pisau, hasilnya menjadi lebih rapi, lebih singkat,
namun ada resiko terluka jika tak berhati-hati.
Pilihan
menggunakan pisau adalah gambaran ketika kita memilih media sosial sebagai media
ibadah. Saya belum akan membahas mengenai resiko terluka di sini, melainkan keuntungan-keuntungan
media sosial sebagai media ibadah yang lebih efektif, efisien, dan hemat.
Sarana
dakwah
designdakwahislamindonesia.blogspot.com |
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran
<3>:104)
Dalil
tersebut menunjukkan betapa penting dan beruntungnya orang-orang yang melakukan
syiar atau dakwah Islamiyah. Sebaliknya, betapa meruginya orang-orang yang
melalaikan tugas mulia tersebut, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(QS. Al-Ashr <103>:2-3)
Berdasarkan
dua dalil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa syiar atau dakwah dalam Islam adalah
wajib hukumnya. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Tidak memandang waktu
dan tempat. Tidak pula dibatasi wasilah (cara) untuk melakukan dakwah. Menyerukan
Islam adalah tugas mulia yang telah dilakukan oleh para Nabi, dilanjutkan oleh
generasi Shahabat, ulama, wali, dan seluruh umat Muslim di penjuru dunia. Tujuannya
tidak lain kemaslahatan umat serta sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah
Allah.
Sejak
zaman Nabi Muhammad hingga sekarang, dakwah telah mengalami banyak perkembangan.
Mulanya, dakwah hanya menjangkau kalangan terdekat Nabi dan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi (tertutup), yakni ketika Islam baru terbentuk dan jumlah
pengikutnya masih sedikit. Setelah jumlah pengikutnya banyak, Nabi pun berani
menyiarkan Islam secara terang-terangan (terbuka) sehingga menjangkau lebih
banyak orang. Seiring perkembangannya, syiar Islam tidak lagi terfokus pada
pertemuan di majelis-majelis tertentu, melainkan dilakukan melalui berbagai
cara. Di Indonesia misalnya, syiar Islam pertama kali dilakukan oleh sekelompok
pedagang dari bangsa Arab dan India melalui komunikasi dua arah (tatap muka),
lalu dilanjutkan oleh tokoh-tokoh besar seperti Walisongo melalui berbagai
cara, seperti pendidikan (pendirian pesantren), musik (tembang tombo ati), wayang,
dan sebagainya.
Seiring
pesatnya perkembangan teknologi informasi, syiar Islam (dakwah) tidak lagi terbatas
oleh ruang dan waktu. Kecanggihan teknologi informasi telah memberikan manfaat
yang begitu besar bagi umat Islam untuk bisa menyiarkan Islam secara lebih mudah,
murah, cepat, serta jangkauan yang tidak terbatas. Salah satunya melalui media
sosial.
Mengapa
media sosial? Pertama, karena jumlah pengguna aktifnya yang sangat tinggi. CEO
Twitter Dick Costolo menyatakan bahwa jumlah pengguna Twitter di Indonesia
mencapai angka 50 juta jiwa di tahun 2014, dan diprediksi akan terus meningkat
di tahun-tahun mendatang. Fakta ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki
jangkauan yang sangat luas sehingga sayang apabila tidak dimanfaatkan untuk
menyiarkan Islam.
Kedua,
menjangkau semua kalangan. Tidak ada persyaratan khusus untuk memiliki sebuah
akun di media sosial. Orang dengan usia, profesi, kewarganegaraan, atau latar
belakang pendidikan apapun bebas memiliki dan menggunakan akun media sosialnya.
Dengan demikian, materi dakwah bisa lebih beragam dan jangkauan semakin luas.
Ketiga,
dakwah tersampaikan secara lebih efektif. Mengapa? Karena para pemilik akun
media sosial berada dalam kondisi tidak terpaksa. Artinya, mereka membaca
sebuah tweet ketika mereka menginginkannya, begitupun sebaliknya.
Keempat,
tidak terbatas ruang dan waktu. Berbeda dengan kajian Islam di forum-forum
pengajian, dakwah melalui media sosial bisa dilakukan kapan pun dan di mana
pun. Begitupun orang-orang yang membacanya. Ustad Felix Siaw yang telah lama menggunakan
Twitter sebagai salah satu media dakwahnya mengakui keunggulan tersebut. Dalam
sebuah wawancara seperti dikutip Tempo, beliau mengatakan, “Dakwah di Twitter sangat besar, kalau di
forum, kan, terbatas. Kalau di Twitter, orang di mana pun bisa baca, bisa jadi
trending.” Ia menambahkan, “Pengguna Twitter umumnya lebih teredukasi,
berada di perkotaan, dan mungkin tidak pernah ikut kajian, sehingga bisa
menjangkau mereka untuk mendapatkan kajian karena mereka membawa gadget ke mana
mana.”
Kelima, menciptakan rantai pahala yang tak terputus. Ketika kita
memposting sebuah tweet, tweet tersebut bisa menjangkau sebanyak jumlah follower
kita di Twitter. Itu artinya, semakin banyak jumlah follower kita di Twitter,
semakin besar kemungkinan orang-orang yang membacanya. Namun tidak berhenti sampai
di situ. Ketika follower kita merasakan manfaat dari sebuah postingan tweet,
kemungkinan mereka akan me-retweet sehingga postingan tersebut bisa dibaca oleh
follower si follower tadi. Begitu seterusnya sehingga pahala kita semakin
banyak, hanya dari satu tweet. Hal ini disabdakan Nabi dalam salah satu
hadisnya, “Siapa yang menyeru kepada kebaikan, maka ia
mendapat pahala sebanyak pahala pengikutnya, dan yang demikian itu tidak
mengurangi pahala dari pengikutnya sedikitpun. Selain itu, siapa yang menyeru
kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa, juga dosa para pengikutnya, dan itu
tidak mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
(HR. Muslim)
Sarana Menebar Perdamaian
www.bantuan-hukum.com |
Pesatnya perkembangan teknologi informasi, utamanya komunikasi dan
informasi, memberikan peluang bagi siapapun untuk meraih tujuannya, tak
terkecuali tujuan buruk. Jumlah pengguna aktif yang sangat tinggi, kemudahan
akses, tidak adanya filter, dan fitur berbagi secara cuma-cuma membuat
informasi buruk begitu mudah tersebar. Dari informasi yang penulis terima,
jumlah situs bernada kebencian mengalami peningkatan drastis dalam kurun waktu
20 tahun terakhir, dari yang semula hanya satu situs bernada kebencian di tahun
1995 menjadi seribu situs di tahun 2015.
Keberadaan media sosial sebagai situs jejaring pertemanan membuat tulisan-tulisan
kebencian begitu mudahnya tersebar dari satu pihak ke pihak lainnya melalui
fitur berbagi. Hal ini tidak bisa dibiarkan karena bisa memicu konflik. Semisal
seseorang memposting sebuah artikel tentang perkelahian seorang non-Muslim dengan
seorang Muslim. Meskipun sebenarnya permasalahan tersebut sama sekali tidak
menyangkut urusan agama, namun karena si pembuat artikel meramu tulisannya
sedemikian rupa, maka timbullah spekulasi seolah-olah terjadi penindasan terhadap
seorang umat Muslim oleh umat non Muslim. Atas nama solidaritas, umat Islam di
seluruh dunia pun ikut marah dan menganggap umat non Muslim menindas umat Muslim.
Lalu timbullah konflik antar agama.
Untuk memadamkan ‘api kebencian’ yang terus berkobar di media
sosial, tentu diperlukan ‘air perdamaian’ untuk memadamkannya. Maka kehadiran postingan
berisi pesan-pesan perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan adalah solusi atas
permasalahan ini. Pesan-pesan tersebut haruslah dikemas sedemikian rupa supaya
menarik minat orang yang membacanya. Semisal melalui gambar/meme, konten video,
ilustrasi, kisah-kisah teladan Nabi dan sebagainya.
Sarana Berta’awun Alal Birri Wa Takwa
“Hendaklah kamu
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling membantu
dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukuman-Nya.”
(QS. Al Maidah 5:2)
Pada dasarnya, setiap manusia adalah makhluk sosial. Ia selalu
membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan berbagai aktivitas dalam
hidupnya, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, bahkan perbuatan
yang berkaitan dengan urusan ibadah kepada Allah. Kehadiran media sosial sebagai
tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai belahan dunia dan beragam profesi
bisa menjadi salah satu wadah untuk melakukan sebuah amal kebaikan secara
bersama-sama. Semisal mengumpulkan dana untuk korban bencana alam, donasi untuk
membangun pesantren/sekolah yang tidak layak pakai, atau hal-hal sederhana
seperti membantu biaya rumah sakit sahabat.
Sarana Bersilaturahim
Sejak kemunculannya, media sosial memang membantu menghubungkan
seseorang dari belahan bumi mana saja untuk bisa berkomunikasi dengan orang
lain dari belahan bumi lainnya tanpa terhalang oleh jarak . Ini menjadi
keuntungan bagi siapapun yang memiliki kerabat jauh dan ingin bersilaturahim,
namun terhalang waktu dan biaya. Namun lebih dari sekedar bersilaturahim, media
sosial juga semestinya dimanfaatkan untuk saling memberi nasehat dan mengajak
kepada kebaikan, serta mencegah kepada kemungkaran.
Pantangan: Media Sosial, Dakwah Penuh Jebakan
Seperti yang telah saya singgung di atas bahwa media sosial tak
ubahnya sebilah pisau. Ia mampu mencelakai diri sendiri maupun orang lain
apabila pemakainya tidak menggunakan secara hati-hati.
Berikut ini beberapa kecelakaan yang bisa terjadi apabila tidak
berhati-hati menggunakan media sosial:
Niat Selain Karena Allah
Dalam urusan ibadah apapun, niat adalah sesuatu yang sangat
penting, bahkan lebih penting dibandingkan amal perbuatan itu sendiri. Shalat
pun menjadi tidak sah jika tidak didahului niat. Begitupun dengan peribadatan lainnya
seperti puasa, haji, bahkan syiar di media sosial. Maka sebelum menyebarkan
ilmu di media sosial, ada baiknya bertanya kepada diri sendiri; apa tujuan saya
melakukan syiar Islam? Apakah murni karena Allah, atau justru karena sesuatu selain-Nya?
Jangan-jangan kita memposting sebuah tweet hanya untuk pamer ilmu atau mengejar
popularitas.
Hal ini karena mengikhlaskan niat tidak mudah. Bahkan seringkali
niat awal seseorang berubah di tengah perjalanan. Seperti pernyataan Sufyan
Atsauri, “Tidak ada sesuatu yang paling sulit aku
hadapi selain niatku, karena ia senantiasa berbolak-balik.” Mantapkanlah niat kita hanya kepada Allah, mintalah kepada-Nya
untuk menetapkan niat tersebut dan segera perbaiki niat kita ketika ia telah
melenceng dari tujuan awal.
Asal Tebar Ilmu
Ketika melakukan syiar Islam, niat baik saja belum cukup. Namun
pesan yang disampaikan pun harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Terkadang,
kita terburu-buru menyebarkan sebuah ilmu tanpa memperhatikan dalil-dalil
tertentu yang mendukungnya, baik dari Al Qur’an, Sunnah, atau perkataan
Shahabat. Namun perlu diperhatikan pula ketika menukil dalil dari Al Qur’an
atau Sunnah, akan lebih akurat apabila kita menggunakan pendalilan atau tafsir para
ulama yang kredibel.
Asal Comot Ilmu
Terkadang kita menganggap bahwa ilmu yang disebarluaskan melalui
website/blog/postingan pribadi di sosial media adalah sesuatu yang gratis,
sehingga begitu mudahnya mencomot tanpa mencantumkan sumbernya. Ini tidak
dibenarkan karena bisa saja ilmu tersebut memiliki hak cipta dan kita bisa
dituntut secara hukum. Tidak hanya tuntutan di dunia, namun juga tuntutan di
akhirat, sebab Rasul bersabda, “Orang
yang mengaku-aku memiliki dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia
seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR Muslim) Karena itu, wajib hukumnya mencantumkan sumber ilmu
yang hendak kita bagikan.
Asal Berfatwa
“Orang yang paling
berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya.” Mengapa demikian? Karena mengeluarkan fatwa memiliki
pertanggungjawaban yang sangat besar, sehingga tidak sembarang orang boleh
melakukannya.
Perang Komentar di Media Sosial
Dalam sebuah postingan tweet/status di media sosial, seringkali
kita menemukan debat atau perang komentar antar pemilik akun media sosial. Ada
yang menyampaikan sanggahan dengan baik, namun banyak pula yang memberikan
komentar bernada sinis, penghinaan, provokasi, hasutan, makian, dan sebagainya,
yang sebenarnya tidak akan membawa kebaikan bagi diri mereka sendiri maupun agama
Islam. Orang-orang semacam ini lebih membesar-besarkan emosi dibandingkan nalar,
sehingga perdebatan tidak akan menemui ujung.
Daripada berdebat di kolom komentar, lebih baik bertemu secara
langsung untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Hal ini jauh lebih baik
karena berdebat sendiri merupakan salah satu cara berdakwah yang diperkenankan
Allah SWT, sebagaimanya firman-Nya Surah An-Nahl: 125 berikut; “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan
untuk berdebat/berdiskusi. Pertama, harus menggunakan perkataan yang baik;
tidak mengandung celaan, kata-kata kasar, atau perkataan yang menyinggung
lainnya. Kedua, mengetahui siapa yang menjadi partner debat; apakah dia memang
ingin mencari kebenaran, seseorang yang senang berdebat, atau pihak-pihak
tertentu yang ingin menyerang/menjatuhkan Islam. Dan yang terakhir, tidak
mendebatkan sesuatu yang mudharat dan makruh, semisal mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya.
Candu
Tidak seperti google yang menampilkan informasi ketika kita
mencarinya, media sosial justru menampilkan beragam informasi melalui akun-akun
tertentu sebagai perantaranya. Ada milyaran informasi menarik yang diunggah
setiap hari, yang apabila kita terlena, maka habislah kesempatan untuk
menikmati kelezatan-kelezatan ukhrawi. Salah satunya menghafal dan mempelajari
Al Qur’an.
Padahal Fudhail bin Iyadh dari generasi Tabi’in berkata: “Penghafal al-Quran adalah pembawa bendera
Islam. sangat tidak layak baginya larut dalam senda guarau sebagaimana
orang-orang yang bersenda gurau, dan tidak layak baginya larut dalam keadaan
alpa seperti orang yang alpa. Tidak layak juga baginya larut dalam kelalaian
dan permainan bersama orang yang lalai.”
Bercengkerama dengan media sosial boleh saja, tetapi harus proporsional.
Dan sebagai pembawa bendera Islam, tentu kita harus bisa menentukan prioritas
utama dalam hidup, yakni bercengkerama dengan Al Qur’an.
Demikian beberapa tantangan dan pantangan yang harus dan tidak
boleh dilakukan oleh keluarga Qur’ani dalam menggunakan media sosial. Semoga Al
Qur’an senantiasa melindungi kita dari kesesatan dan kemudharatan. Sehingga
semua orang mampu menikmati indahnya Keluarga Qur’ani.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar