Langsung ke konten utama

Salah Kaprah Pembangunan Pendidikan di Indonesia



Kalau kamu mau menyelesaikan masalah kemiskinan di Jakarta jangan kasih kerjaan ke mereka di sini (Jakarta) apalagi donasi. Itu macam sakit kanker kulit diobati pakai salep.
Pulang! Buat lapangan kerja yang banyak di daerah-daerah kalian. Sehingga orang-orang desa tidak harus pergi keluar daerahnya hanya untuk cari kerja. Kemiskinan, pengangguran, kemacetan, inflasi, solved! Local economic solves so many problems.”
(Stephanie Hermawan, mentoring Heart of Spora x UnLtd, dikutip dari postingan facebook Tiara Desyha Rianti, 19/10/2016.)

Seorang pengunjung pameran Palapa Network sedang mengamati glontor mini pot rancangan Tiara – dok. Alyssa
Tiara Desyha Rianti, gadis berhijab lulusan Sarjana Teknik dari Universitas Indonesia ini begitu menarik perhatian saya, bukan hanya karena parasnya yang cantik, melainkan juga prestasi dan dedikasinya dalam mengembangkan usaha di bidang industri kreatif berbasis local genius masyarakat Kebumen.
Berbeda dari kebanyakan orang, pendidikan dan passion yang tinggi tidak membuat langkah Tiara menjauh dari kota kelahirannya, Kebumen, yang juga merupakan kota kelahiran saya. Sebaliknya, ilmu yang didapat dan kecakapannya di bidang desain membujuknya kembali ke kampung halaman dan membangun industri kreatif di sana. Melalui social enterprise yang dinamai Heart of Spora, Tiara dan sekelompok pemuda Kebumen mengembangkan aneka kerajinan berbahan dasar pandan di desa Grenggeng, Karanganyar.
Berikut ini aktivitas ibu-ibu perajin binaan Tiara dan teman-teman Kebumen:
Foto diambil dari laman Facebook Heart of Spora dengan pengeditan.
Dedikasi Tiara mengingatkan saya dengan sepenggal kalimat dari mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela. Katanya, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.”
Hanya saja, perubahan seperti apa dan dunia belahan mana?
Tiara mengambil belahan dunia yang paling dekat dengannya, yaitu Kebumen. Ia memulai perubahan-perubahan positif dengan menggarap local genius masyarakat di desa Grenggeng.
Sejak dulu, masyarakat desa Grenggeng memanfaatkan daun-daun pandan untuk dianyam menjadi complong (bentuknya mirip sarung). Complong ini kemudian dibeli tengkulak dengan harga yang lebih rendah dari harga pasaran. Melalui Heart of Spora, Tiara dan kawan-kawan melakukan pembinaan kepada ibu-ibu pengrajin untuk mengkreasikan complong menjadi produk-produk kerajinan seperti tas dan dompet sehingga mampu bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Kesuksesan Tiara dalam menangkap dan mengembangkan local genius masyarakat Desa Grenggeng menjadi contoh ideal bagi pembangunan pendidikan yang mengarahkan peserta didik agar berkontribusi aktif bagi pengembangan ekonomi kemasyarakatan. Sayang, banyak kalangan terdidik justru terjebak pada pusaran kesuksesannya sendiri sehingga ‘lupa’ untuk memajukan tanah kelahirannya. Tidak sedikit pula yang gagal meraih kesuksesan sehingga menjadi bagian dari permasalahan kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dan kemacetan di kota-kota besar. Atau merelakan diri menjadi buruh rendahan dengan gaji yang hanya cukup untuk makan satu bulan, sambil menahan rindu akan kampung halaman demi meringankan beban keluarga dan harapan akan masa depan yang jauh lebih baik.
Potensi Bangsa yang Tergadaikan
infoindonesiakita.com

Sebelum dilengserkan, Sukarno pernah berkata, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyur-insinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri.”
Mengapa Sukarno menolak keterlibatan asing dalam mengelola sumber daya alam Indonesia? Padahal saat itu Indonesia baru merdeka dan membutuhkan investasi demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional?
Sebagai aktor utama yang berjuang melepaskan Indonesia dari jerat penjajah, Sukarno tentu mendambakan Indonesia yang berdaulat secara ekonomi tanpa harus bergantung pada negeri lain. Meski demikian, Sukarno tidak ingin terburu-buru menggencarkan pembangunan ekonomi lantaran melihat kondisi intelektual masyarakat kala itu yang masih rendah. Sukarno optimis, seiring gencarnya pembangunan pendidikan yang ada, Indonesia akan melahirkan insinyur-insinyur handal yang mampu menggali dan mengelola sumber daya alam demi menyejahterakan rakyat Indonesia.
Namun apa yang terjadi selanjutnya? Pembangunan pendidikan yang diharapkan mampu menjadikan bangsa ini mandiri secara ekonomi pada kenyataannya belum mampu memberikan timbal hasil yang semestinya. Banyak potensi bangsa yang tergadaikan oleh pihak asing, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.
Masih ingat dengan kasus Freeport? Gunung emas, perak dan tembaga yang dirampok Amerika tersebut adalah skandal terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Tergadaikannya potensi alam yang konon dapat melunasi semua utang-utang Indonesia dan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia tersebut adalah kesalahan terbesar pemerintah yang semestinya tidak perlu dan jangan sampai terulang kembali. Namun seperti menolak untuk belajar dari kesalahan, kejadian serupa massif terjadi hingga sekarang. Sehingga negeri yang katanya kaya raya ini tidak kunjung menjadi negara maju seperti yang diidam-idamkan. 

Freeport dari pencitraan satelit. Foto diambil dari info-lingkungan.blogspot.co.id
Matinya Sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otonoma, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang jika ditotal mencapai 840.000 ton serta matinya ekosistem di sekitar lokasi pertambangan milik PT Freeport Indonesia adalah bukti bahwa pengelolaan sumber daya alam di Papua belum mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya, bahkan sebaliknya menyengsarakan mereka. Pepatah yang mengatakan “ayam mati di lumbung padi” tampaknya paling pas menggambarkan kondisi masyarakat Papua paska disahkannya penambangan emas PT Freeport Indonesia.
Kegagalan Freeport dalam pengelolaan sumber daya alam Papua mengajarkan kita bahwa pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada keuntungan semata justru menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan ekosistem dan perekonomian masyarakat sekitar. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Freeport memberikan keuntungan ekonomi berupa penerimaan royalti, akan tetapi jumlah yang diterima sama sekali tidak sebanding dengan kerugikan akibat pencemaran lingkungan dan perusakan sumber daya alam yang tak tergantikan. Belum lagi kegagalan Freeport dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, sehingga provinsi yang memiliki kekayaan alam berlimpah itu harus berpuas diri menjadi provinsi termiskin di Indonesia. 

Sumber data: silmiikaffah
Sikap terburu-buru pemerintah juga menjadi penyebab lain kegagalan negara dalam pengelolaan sumber daya alam Papua. Pemerintah terlalu ambisius untuk melakukan pembangunan ekonomi, namun mengabaikan aspek pembangunan sumber daya manusianya. Kearifan lokal masyarakat Papua juga terabaikan sehingga memicu konflik kepentingan antara pemerintah dan perusahaan dengan masyarakat adat setempat. Sebuah fakta yang memantik pertanyaan dalam benak penulis. Jika pengelolaan sumber daya alam tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, lantas kemana arah pembangunan ekonomi Indonesia?
Arah Pembangunan Pendidikan dan Keterasingan Budaya
“Di Kebumen hanya numpang lahir dan sekolah, setelah itu pergi dari Kebumen. Ini fakta. Rasa nasionalisme ke Kebumennya tu gak ada, egois banget, hanya mementingkan urusan pribadi. Percuma kaya tapi di luar Kebumen, percuma pinter sekolah tinggi tapi gak ada timbal baliknya untuk daerahnya sendiri.”
Postingan akun facebook Kota Kebumen tersebut sangat menggelitik dan cukup menyakitkan bagi sebagian kalangan, khususnya putra-putri Kebumen yang merantau di kota-kota besar. Rasa sakit hati ini diungkapkan pemilik akun Edmon Dwie Perdhana melalui postingan di dinding facebooknya sebagai berikut:

Terjemahannya kurang lebih seperti ini:
“Entah di mana otak sang penulis, gampang sekali menghakimi. Tidak tahu rasanya merantau ingin pulang tanpa membawa beban di tanah kelahiran. Siapa yang tidak ingin pulang ke Kebumen, menetap, tua, membangun, dan meninggal di tanah kelahiran sendiri.”
Sebagai seseorang yang lahir, tumbuh, bersekolah dan bekerja di kota Kebumen, saya merasakan betul betapa sulitnya mencari pekerjaan di kota kecil ini. Bermodalkan ijazah SMK, sulit bagi saya mendapatkan pekerjaan sesuai kualifikasi yang tertera di lembar ijazah. Ada beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi saya, namun semuanya mensyaratkan pendidikan minimal strata satu. 

Nyaris semua lowongan staf akuntansi mensyaratkan pendidikan S1
Hal tersebut lantas membuat saya berpikir, apa gunanya saya masuk sekolah kejuruan? Bukankah sekolah kejuruan membidik kematangan siswa dan mengarahkan lulusannya agar dapat terjun langsung ke dunia kerja? Lantas, apa ruang lingkup pekerjaan bagi lulusan SMK? Apakah sesuai dengan kualifikasinya atau ‘disasarkan’ menjadi buruh pabrik? Sebab di sekolah kejuruan tempat penulis belajar, para siswa justru disalurkan ke pabrik-pabrik di luar kota untuk menempati posisi sebagai staf operasional, bukan di bidang pekerjaan yang sesuai kualifikasinya.
Selain disfungsi pembangunan pendidikan berbasis sekolah kejuruan, masalah lain timbul kaitannya dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Di kota kecil seperti Kebumen, jumlah pabrik yang tersedia sangat sedikit. Fakta ini lantas memicu urbanisasi besar-besaran setiap tahunnya, dimana unsur dominannya merupakan tamatan sekolah menengah. Mereka rela meninggalkan kota tercinta, jauh dari orang tua, hidup di kos-kosan dengan ruangan yang sempit dan makan alakadarnya, kerja banting tulang setiap hari dengan upah gaji minimum daerah, semata demi meringankan beban orang tua dan harapan akan masa depan yang konon jauh lebih baik.

Gambar diolah dari berbagai sumber di internet
Dengan keadaan yang sedemikian itu, masihkan sanggup menuduh mereka tidak nasionalis? Egois?
Baiklah. Anggap saja tuduhan itu tidak ditujukan bagi lulusan sekolah menengah, melainkan bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi semisal strata satu. Sebab di pundak kalangan terdidik itulah, harapan akan masa depan yang lebih baik dilimpahkan. Banyak orang berharap, kecakapan dan kematangan ilmu yang didapatkan selama menempuh pendidikan tinggi akan menjadi jalan bagi terwujudnya kemandirian ekonomi melalui pembangunan lapangan pekerjaan di daerah-daerah.

Gambar diolah dari berbagai sumber di internet
Namun ada dua hal yang mesti dikaji ulang terkait harapan tersebut. Pertama, apakah pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan agar para peserta didik mengenal dan berkontribusi aktif bagi pengembangan potensi daerahnya? Kedua, sudahkah pembangunan pendidikan diarahkan agar peserta didik mencintai tanah kelahirannya?

Gambar diambil dari: www.slideshare.net
Sejauh pengalaman penulis, pembangunan pendidikan di Indonesia masih terlalu mentah untuk menghasilkan lulusan yang mampu mengelola potensi lokal masing-masing daerah. Model dan sistem pendidikan yang diterapkan cenderung copy-paste konsep pendidikan barat sehingga kurang sesuai dengan kondisi konkrit bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman suku budaya, bahasa serta adat istiadat. Konsep pendidikan ala Barat inilah yang membuat kalangan terdidik kian terasingkan dari budaya lokal.

Poskota News
Hilangnya penerapan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari masyarakat Kebumen menjadi salah satu sinyal keterasingan kalangan terdidik terhadap produk budaya masyarakatnya. Mereka cenderung tidak suka atau kurang percaya diri menggunakan bahasa daerah walau dalam percakapan sehari-hari sekalipun. Mereka juga tidak cakap menggunakan krama inggil dalam percakapan sehari-hari dengan seseorang yang lebih tua sehingga kerapkali dianggap tidak sopan. Penyebabnya, tidak lain karena kurangnya penerapan bahasa daerah dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.
Tidak hanya aspek bahasa, keterasingan budaya juga terlihat dari ketidaktahuan kalangan terdidik mengenai adat istiadat, sejarah, serta produk budaya khas daerahnya. Jika demikian keadaannya, masihkah menuntut mereka mencintai tanah kelahirannya? 

poliklitik.com
Selain keterasingan budaya, keterasingan terhadap potensi daerah juga memicu derasnya arus urbanisasi. Peserta didik tidak disiapkan untuk mengelola potensi daerah dan tidak terlatih untuk menerapkan ilmunya serta berkontribusi aktif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mereka cenderung dicetak untuk memiliki mental pekerja, bukannya pembuat lapangan pekerjaan. Pada akhirnya, karena pertumbuhan calon pekerja lebih cepat dibandingkan pembukaan lapangan pekerjaan, pengangguran pun menjadi kian tak terbendung dan melahirkan produk permasalahan klasik seperti kemiskinan dan kriminalitas.

Hipwee
Pembangunan Pendidikan dalam Perspektif Budaya
Sebagai negara padat penduduk yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman budaya, Indonesia memiliki peluang besar untuk berkembang menjadi negara besar dan maju seperti Tiongkok atau Amerika Serikat. Sayang, potensi besar tersebut kian tergerus seiring masuknya produk budaya luar berupa modernisasi dan kapitalisasi. Melalui kapitalisasi, sumber daya alam dirampok dan menyisakan ‘ampas’ berupa pencemaran lingkungan dan kemiskinan. Sementara modernisasi secara perlahan menggerus produk-produk budaya yang telah menjadi kearifan lokal sehingga kalangan terdidik kehilangan jati diri kebangsaannya.
Ungkapan “wong Jawa sing ora Jawa” adalah sindiran bagi mereka yang merupakan keturunan Jawa namun tidak memiliki pandangan hidup Jawa. Tindakan korupsi yang dilakukan pejabat adalah salah satu sinyal bahwa seseorang telah kehilangan jati diri kejawaannya. Sebab nilai luhur Jawa mengajarkan bahwa seseorang “aja nganggo aji mumpung”. Artinya, seseorang tidak boleh memanfaatkan posisi tertentu untuk mengambil kesempatan di jalan yang tidak benar. 

Ilustrasi diambil dari: kspi
Tindakan korupsi juga menjadi ciri seseorang kehilangan pandangan hidup Jawa yang mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Mereka ingin hidup enak dan mewah, namun malas bekerja keras sehingga mengambil jalan pintas dengan mengambil hak orang lain.
Atas dasar itulah, penting kiranya dilakukan pembenahan secara mendasar dalam mengubah perilaku manusia agar memiliki pandangan hidup yang lebih mulia, yakni melalui pendidikan berbasis kearifan lokal. Model pendidikan berbasis kearifan lokal mampu menjadi sarana bagi generasi tua untuk mewariskan nilai-nilai luhur sesuai kebudayaan masing-masing daerah. Sehingga orang Jawa memiliki perilaku dan cara pandang hidup Jawa, bukan kebarat-baratan atau lainnya. Hal ini sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa orang Jawa harus atau boleh belajar tentang kehidupan Barat, tetapi tidak harus menjadi orang Barat atau berpandangan hidup Barat. Begitupun dengan daerah atau suku lain di Indonesia.

Mempertahankan kearifan lokal juga penting untuk menghindari tindakan eksploitatif kaitannya pengelolaan sumber daya alam, sebab lazim masyarakat sekitar mengelolanya berdasarkan pada prinsip keseimbangan. Salah satunya kearifan lokal masyarakat Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam hutan. Sejumlah aturan yang diterapkan masyarakat Aceh terkait pengelolaan hutan antara lain larangan menebang pohon pada radius 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, serta kisaran 50 meter dari tepi anak sungai (Wikipedia). Kearifan lokal tersebut terbukti dapat meminimalkan resiko bencana, salah satunya dampak banjir akibat hujan deras.


www.slideshare.net
Pendidikan berbasis kearifan lokal juga memiliki relevansi yang tinggi dengan situasi konkrit peserta didik sehari-hari sehingga memberikan ruang bagi pengenalan dan pengembangan keterampilan serta potensi lokal masing-masing daerah.
Adapun praktik pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal bisa dilakukan dengan cara menyisipkannya pada setiap mata pelajaran. Semisal, praktik memasak makanan khas daerah melalui mata pelajaran tata boga. Presentasi sejarah lokal melalui mata pelajaran sejarah. Telaah karya sastra lokal dan pembuatan karya tulis mengenai potensi daerah melalui pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Pengenalan potensi alam lokal dan analisis dampak lingkungan hidup atas praktik pengelolaan sumber daya alam melalui mata pelajaran Sains, dan sebagainya. 

Simulasi pendidikan berbasis kearifan lokal. Sumber gambar: Sekolah Alam Kreatif Bandung

Pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal juga bisa diterapkan pada peserta didik kelompok usia dini, salah satunya melalui kegiatan mendongeng.

http://blog.act.id


Tentu masih banyak praktik pembangunan pendidikan berbasis kearifan lokal yang lebih efektif. Intinya, bagaimana pembangunan pendidikan mampu menumbuhkan rasa kepemilikan yang kuat dalam diri anak bangsa sehingga mereka mencintai kampung halamannya, mencintai budayanya, dan mengenali potensi-potensi yang ada di sekitarnya. Lalu kematangan ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan dijadikan senjata dalam mengelola dan mengembangkan potensi lokal yang ada sehingga ia memiliki nilai tambah, daya guna serta pelestarian demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Apabila cita-cita mulia ini telah terwujud dan lapangan pekerjaan terbentang lebar di setiap daerah, saya yakin urbanisasi besar-besaran yang melahirkan kemacetan, pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan bisa segera terselesaikan. Pemerataan ekonomi yang diidam-idamkan juga bisa segera terwujud dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Semoga saja.



Daftar Rujukan:
Marlupi, Anna Sri. 2011. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal. Diambil dari: http://www.pangudiluhur.org/berita/pendidikan-berbasis-kearifan-lokal-oleh-anna-sri-marlupi-s-s.104.html. Diakses pada 2 November 2016.
Mampioper, Dominggus A. 2009. PT Freeport Indonesia dan Konflik Konflik Sosial di Papua. Diambil dari: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=PT%20Freeport%20Indonesia%20dan%20Konflik%20Konflik%20Sosial%20di%20Papua&dn=20090811170157. Diakses pada: 7 November 2016.
Nurhayati, Endang. Nilai-Nilai Luhur Dalam Ungkapan Jawa Sebagai Fondamen Kehidupan Masyarakat Berbudaya. Diambil dari: http://ki-demang.com/kbj5/index.php/makalah-pengombyong/1205-23-nilai-nilai-luhur-dalam-ungkapan-jawa-sebagai-fondamen-kehidupan-masyarakat-berbudaya/. Diakses pada: 7 November 2016.
Pramudya, Bob Ilham. 2015. Kebobrokan Freeport - Pencemaran Lingkungan & Pelanggaran HAM Perusahaan Emas Terbesar di Indonesia. Diambil dari: http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia_5519c8bca33311a61bb6595c. Diakses pada: 3 November 2016.
Gloria. 2015. Menilik Solusi Pembangunan Melalui Kacamata Budaya. Diambil dari: https://ugm.ac.id/id/berita/10817-menilik.solusi.pembangunan.melalui.kacamata.budaya. Diakses pada: 31 Oktober 2016.
Gusti. 2011. Komunikasi Pembangunan Tidak Harus Mengadopsi Teori Barat. Diambil dari: https://ugm.ac.id/id/berita/3523-komunikasi.pembangunan.tidak.harus.mengadopsi.teori.barat. Diakses pada: 31 Oktober 2016.
Hermawan, Febri. 2014. Karya Desainer Ini Mendunia. Diambil dari: http://kebumenmuda.com/2014/09/24/karya-sang-interior-desainer-ini-mendunia/. Diakses pada: 28 Oktober 2016.
Qurani, Annisa. 2015. Heart Of Spora. Diambil dari: http://kebumenmuda.com/2015/09/07/heart-of-spora-bagian-1-empowering-with-heart/. Diakses pada: 28 Oktober 2016.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Data dan IoT, Dua Teknologi Pendukung Smart City

Perubahan zaman yang terjadi begitu cepat, perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota dan persaingan global yang kian tak terbendung telah menciptakan beragam persoalan di kota-kota besar di seluruh dunia, seperti kemacetan, kemiskinan, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Di sisi lain, perkembangan teknologi mutakhir dan jaringan internet yang meluas telah menciptakan peluang tersendiri bagi para pelaku bisnis maupun pelaku kepentingan publik. Dari dua fenomena besar itulah kemudian muncul gagasan Smart City. Smart City adalah sebuah gagasan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pengelolaan sumber daya secara efektif dan efisien, salah satunya melalui pemanfaatan teknologi informasi. Smart City menjadi solusi atas berbagai kendala yang dihadapi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang melingkupi sebuah kota. Teknologi Internet Of Things (IoT) Sumber Gambar Internet of things adalah sebuah gagasan untu

Setangkup Mimpi Bersama Mama

Mama dulu bermimpi, menyaksikan anak Mama berdiri di atas panggung sambil memegang piala.  Lalu Mama diminta untuk berdiri di samping anak Mama disambut riuh tepuk tangan orang banyak. Wah, pasti bangga sekali memiliki anak yang berprestasi. Pernyataan itu begitu menusuk hatiku. Betapa aku telah gagal mewujudkan impian sederhana Mama. Bukan berarti aku tidak mencoba untuk mewujudkannya. Namun setiap kali mencoba, aku selalu gagal. Bahkan hingga lulus SMA, belum ada satupun piala yang berhasil aku bawa pulang. Akankah aku menyerah? Tentu saja tidak. Justru pernyataan itu menamparku untuk berusaha lebih keras lagi. Aku mengikuti beragam lomba menulis dan beberapa kali memenangkannya. Sayang, tidak ada awarding ceremony sehingga impian untuk berdiri sambil memegang piala di hadapan banyak orang masih belum terwujud. Hingga suatu ketika, aku mendapat telepon dari panitia lomba untuk menghadiri acara penganugerahan pemenang lomba blog di Jakarta. Seketika perasaanku membumbung tinggi

Dedikasi 60 Tahun Astra, Inspirasi Keberlanjutan Menuju Kebanggaan Bangsa

Menjejaki usia 60 tahun bagi sebuah bisnis bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak perusahaan mampu selamat dari badai krisis bersejarah 1998 yang membangkrutkan perekonomian nasional. Satu dari sedikit bisnis yang mampu bertahan itu adalah Astra. Meski tertatih, Astra membuktikan diri bangkit dan berkembang pesat hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan terbaik regional dalam kurun waktu kurang dari 60 tahun. Dari hanya memiliki empat karyawan, kini jumlah karyawan Astra telah membengkak hingga 221.046 yang bekerja di 198 perusahaan Grup Astra. Aktivitas bisnis Grup Astra pun berkembang pesat meliputi enam lini bisnis, yaitu otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan agribisnis, infrastruktur, logistik serta teknologi informasi. Pengalaman menghadapi krisis 1998 dan kemapanan finansial yang baik membuat Astra lebih tangguh menghadapi badai-badai selanjutnya, termasuk tantangan melemahnya perekonomian global sepanjang tahun 2015 lalu. Astra bahkan masih sangg